Selamat Jalan
Beberapa
hari kemudian setelah aku cerita dengan ibu, pas hari minggu ketika bapak lagi duduk-duduk santai di ruang tamu sambil melihat acara televisi.
"Benk
Dhe Di sakit, sana lho jenguk ngajak ibu" Tanya bapak kepadaku sehabis
pulang beli soto untuk sarapan
Rasanya
ingin menceritakan tentang mimpiku kepada bapak tapi antara iya dan enggak tapi
tiba-tiba ibu bilang bila aku sudah mimpi. Karena bapak bertanya aku pun
menceritakan kembali tentang mimpiku yang beberapa hari yang lalu sudah aku
ceritakan kepada ibu. Sebenarnya setelah mimpi itu aku ingin cerita kepada
bapak ingin tau apakah ada maksud dari mimpiku itu namun ada juga penolakan
dari diriku untuk menceritakannya.
Bapak
mendengarkan secara seksama detail dari ceritaku dan setelah cerita usai bapak
hanya bilang ngalamat enggak bisa sembuh ini coba nanti bapak tanyakan kepada
teman apa maksud dari mimpi itu. Haaaa..., apa maksud perkataan bapak kagak
paham. Lalu bapak mengambil hp dan menghubungi seseorang. Sudah enggak aku
pedulin yang penting aku sudah cerita plong sudah ganjalan tentang mimpiku.
Dulu sebelum ayahnya Putra meninggal aku juga bermimpi aneh dan aku juga cerita
kepada bapak biar plong benar saja setelah cerita sudah enggak kepikiran lagi
walaupun sesekali mimpi itu masih terlintas dalam pikiran seperti saat-saat
ini.
Setelah
diberitahu bapak aku dengan diantar ibu pun ke rumah Bu Dhe untuk menjenguk pak
Dhe yang sedang sakit. Ketika itu Dhe Di sedang berbaring di kasur, Badannya
kurus sehingga kaos yang biasa dipakainya terlihat besar. Mukanya sangat pucat
seakan tak terlihat ada aliran darah disana hanya sayu dan lemah. Ketika
melihat kami datang Dhe Di berusaha untuk duduk walau dengan bersusah payah
dengan bantuan tempat tidur akhirnya bisa juga duduk, napasnya kelihatan
ngos-ngosan seperti orang habis lari dan setiap omongannya tidak bisa langsung
tuntas karena setiap kata diselingi dengan tarikan napas yang panjang seakan
kata-kata yang ingin di ucapkan tercecer di tenggorokan sehingga mesti mengumpulkannya lagi.
Setelah
kunjunganku bersama ibu beberapa hari berikutnya Dhe Di sudah bisa main ke
rumah namun belum kuat jalan jauh untuk ke rumah mesti minta bantua orang untuk memboncengnya menuju ke rumah (walaupun sebenarnya tidak begitu jauh)
pundaknya yang sebelah kiri agak turun dan masih sama napasnya tersengal-sengal
setiap berbicara, bahkan hingga memegangi dadanya yang sesak dan
susah bernapas. Pak Dhe ku yang satu ini hampir tiap hari main ke rumah jadi
jika beberapa hari tidak kelihatan seperti ada yang aneh. Teman berdebat
bapak bila malam tiba namun aku sangat tidak suka dengan rokok yang biasa
dihisapnya, bayangin saja jika aku yang sensitif terhadap asap rokok namun Dhe
kalau sudah merokok bisa 1 bungkus habis dalam hitungan jam kalau ngerokok
seperti kereta tidak bisa berenti dan asapnya kemana-mana pastinya. Makanya Pak
Dhe paling hapal jika main ke rumah aku langsng setel tipas angin biar asapnya
keluar jadi tidak sampai masuk ke kamar-kamar lalu sebelum duduk selalu mencari asbak karena bila tidak begitu aku akan bawel dengan abu rokok yang dibuang di sembarang tempat ketika melihatku selalu
berkata, "Ini sudah ada asbak jadi abunya tidak kemana-mana" karena selain bapak akulah orang yang
selalu komplen dalam hal asap dan abu rokok di rumah bapak maupun adik lelakiku tidak merokok masalahnya.
Penyakit
tua menyebabkan pak Dhe yang berprofesi sebagai penarik becak tidak bisa
bekerja kembali namun sangat disayangkan karena semua anaknya tidak ada yang
pintar dengannya kecuali mbak Eny. Dari kesembilan anak hanya mbak Eny yang
tulus merawatnya namun begitu mbak Eny tidak tinggal dekat rumah, semuanya pada takut dengan Dhe Yem yang suka marah-marah
karena dengan Dhe yang tidak bekerja sehingga pendapatannya berkurang sedangkan
mereka semua (di rumah masih ada beberapa anak yang masih tinggal bersama
walaupun hanya 1 anak yang belum nemikah) membutuhkan makan. Malah tak jarang
Dhe Di hanya mendapat makian bila berada di rumah, aku tau sendiri bagaimana
pedasnya omongan bu Dhe yang sangat semena-mena terhadap suami. Bahkan tak
jarang untuk makan dan minum di rumah sendiri saja mesti mendapat omelan maut terlebih dahulu dari bu Dhe.
Akhir-akhir
ini setiap aku ingin mandi untuk bersiap kerja aku selalu menyempatkan melihat pak Dhe tidur di
lincak yang terlihat dari jendela dekat kamar mandi. Melihatnya sangat trenyuh,
punya banyak anak tak ada yang berbaik hati mengarahkan dan merawatnya, punya
istri yang kerjanya hanya marah-marah hanya akan berenti marah bila di kasih
uang. Karena iba bapak sering memberinya uang untuk makan, namun saking
sayangnya dengan keluarga uang yang di kasih bapak malah di kasih istrinya
jelas saja bapak jengkel niatnya memberi agar Dhe Di tidak perlu makan di rumah dan berpura-pura sudah makan walaupun sebenarnya belum malah dikasih istrinya, sejak tau itu bapak tidak memberi uang banyak hanya saja
berpesan kepada warung penjual makanan yang menjadi langganan Pak Dhe untuk
memperbolehkannya makan disana apa pun nanti bapak yang bayar.
Suatu
ketika bapak pernah bergumam bagaimana jika Dhe Di di taruh di panti jompo biar
bisa tenang tidak banyak pikiran seperti sekarang, di panti jompo mungkin saja
Dhe Di bisa senang karena disana kan banyak teman sebayanya bisa bercakap-cakap
dan bertukar cerita dan yang paling penting ada yang mengurusi. Namun setelah
bertanya kepada adik perempuanku kalau biaya disana tidak murah meskipun ada kelas-kelasnya dan sepertinya jika membayar sendiri bapak tidak sanggup mengingat penghasilan bapak sebagai pengusaha kecil tidak menentu
dan kalaupun meminta sokongan dari anak-anaknya mana ada yang mau, untuk biaya
berobat saja susah keluar apalagi untuk hal semacam itu. Sakit bila bukan mbak
Eny yang memeriksakan mungkin tidak akan ada yang peduli. Hanya dengan mbak Eny
saja Dhe Di nurut, dan mbak Eny pula yang merawatnya ketika sakit dan dirawat di rumah sakit. Padahal mbak Eny sendiri juga bekerja, seperti ketika Dhe masuk ke rumah sakit pulang kerja mbak Eny langsung ke rumah sakit menunggui pulang subuh hanya untuk mandi lalu berangkat kerja.
Mungkin
saking jengah dan jengkelnya sudah sampai ubun-ubun sering bapak berkata
"Sama orang tua tidak pintar lihat saja hidupnya akan sulit, bahkan lebih
sulit dari Dhe. Berbakti sama orang tua itu bukan sama ibu saja tapi bapak juga
jadi jangan sampai menyia-nyiakan orang tua nanti kalau sudah tidak ada baru
menyesal dan itu sudah terlambat". Kalimat yang sering di ucapkan bapak
ketika pembicaraan tentang dhe Di. Ibu pernah berpikir untuk mengajaknya
tinggal di rumah namun aku melarangnya karena tidak baik bila dilihat
tetangga-tetangga kasihan bu Dhe dan anak-anaknya nanti bisa jadi omongan dan
cemoohan tetangga. Lalu ibu hanya berpesan agar Dhe bila makan di suruh datang
ke rumah kapanpun itu walaupun sudah malam tak jadi masalah kalau cuma makan
saja. Malah terkadang pulang ibu juga membawakan sebotol air minum.
Untuk
Dhe yang sudah tua harusnya bisa menikmati masa tuanya dengan bercengkrama
bersama cucu-cucunya tidak banyak pikiran namun sepertinya gambaran itu sangat jauh dari impiannya.
Bapak pernah bilang Dhe itu sakit gara-gara tidak punya uang jadi sakitnya makin parah, waktu aku tanya
kenapa begitu jawab bapak logikannya jika punya uang pastinya pikiran bisa
tenang. Bila di pikir-pikir masuk akal juga omongan bapak secara gara-gara
tidak ada uang mau ngapa-ngapain tidak bisa sedangkan untuk hidup juga
membutuhkan uang, sedangkan bu Dhe yang tidak bekerja hanya mengandalkan
pemberian anak-anaknya yang tak seberapa. Aaaah ribet dah pokoknya jabarinnya.
Mungkin
ini yang terbaik, sekarang Dhe Di sudah bahagia disana. Semoga arwahnya di
terima disisiNya dipermudah jalannya dan Mendapat tempat yang terbaik dan indah
di surga. Selamat jalan Dhe, ada banyak kenangan yang masih tersimpan rapi
dalam diary hatiku yang suatu saat akan aku ceritakan kepada anak cucuku kelak tentang
segala kebaikanmu yang suka mengajariku mengerjakan PR bahasa jawa malah kadang
mengerjakannya karena bapak tidak mengerti bila sudah berurusan dengan pewayangan dan aksara Jawa, waktu SMP mendaftarkan aku sekolah, mewakili bapak rapat maupun
mengambilkan rapotku, waktu kecil suka memberi alpukat satu kantong
plastik untukku, dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikanmu yang selalu aku
ingat.
Selamat
jalan, doaku menghantarkanmu ke tempat peristirahatan terakhir. Semoga engkau
tenang disana dan mendapat tempat yang indah disisi-NYA. Aamiin.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar