Mendung yang datang menyiratkan rintik hujan yang menginginkan untuk segera menghampiri. Aku pandangi wajah di cermin yang sudah tak seperti dulu, sosok anak kecil yang lugu dan lucu kini sudah tumbuh dewasa dengan pikirannya. Wajah yang dulu ceria dan sering berdendang dengan suara sumbang dan nada salah yang tak karuan kini yang aku lihat perempuan dengan wajah sayu tanpa sedikit senyuman yang diperlihatkannya.
Waktu telah merubah segalanya, waktu yang mengajarÄ·an tentang kedewasaan dan pendewasaa, namun waktu pula yang terkadang memaksa untuk segera beranjak bila tak mau tertinggal.
Perempuan di depan cermin, bolehkah kau perlihatkan senyummu padaku ?! Jangan bungkam hatimu dan menutup rapat penglihatanmu. Jangan menghindar, jangan dengarkan suara sumbang yang kau dengar itu tidak perlu. Biarkan mereka begitu adanya tapi jangan untuk dirimu.
Hujan yang mulai turun, tak serta merta melelehkan hatimu wahai pecinta hujan, malah hatimu yang kini membeku bertambah dingin oleh angin yang seakan mengingatkan dan membuka kenangan pahit yang sudah dikuburnya. Perempuan itupun mendekat ke arah jendela dan menatap air hujan yang turun dengan derasnya. Bagaimana luka ini akan pulih...?! Meskipun sudah lama dan lukanya sudah pulih, namun ingatan pahit itu masih membekas dengan kuatnya di dalam pikiranku.
Kau yang pergi meninggalkanku tepat satu bulan setelah kita mengucapkan janji pernikahan. Tak terasa air matapun sudah membasahi pipi, mengenang indahnya saat cinta itu hadir diantara kita, dan seketika keindahan itu sirna oleh pengakuanmu bahwa aku madumu. Teramat perih, sakit dan terhianati. Aku yang sah, namun dialah yang seharusnya memilikimu. Apalah arti anji dan cinta yang kau tunjukkan padaku bila kau tak bisa menjaga hati. Apalah arti hidup bersamamu bila disana ada hati wanita yang tersakiti.
Aku telah buta oleh cintamu, namun kau telah bermain dengan hatiku. Sejujurnya sulit untukku melepaskanmu, namun aku juga tak bisa menutup mata dan telingaku dari rintihan hati seorang wanita yang terhianati. Aku tak bisa. Karena itulah aku memilih mundur dan pergi, buatku sakitnya hati tak sebanding dengan kau yang mendua hati.
Kulepaskan dirimu atas nama cinta. Kembalilah kau kepadanya, karena mereka lebih membutuhkan kamu daripada aku. Kembalilah untuk buah hatimu, cobalah untuk hidup dan berdamai dengan hatimu yang lain untuk kesempurnaan sebuah keluarga. Tak perlu kau pikirkan aku, tak perlu kau ingitkan tentang janji dan cinta yang telah kita bina, dan tak perlu lagi kau buktikan untuk hubungan yang didasari ketulusan hati, itu semua tidak perlu karena buatku membagi cinta adalah kesalahan yang teramat fatal. Cinta buatku adalah kepercayaan, ketaatan, dan keseimbangan dan semua itu sekarang tak ada lagi arti seteleh kutahu masalalumu yang tak sendiri.
Aku memilih pergi, berbahagialah kau untuknya. Kembalilah pada mereka, jadikan aku masalalumu. Masa lalu yang tak perlu kau kenang dan kau ingat. Berbahagialah, aku merelakanmu untuknya karena dialah pemilik hatimu yang sebenarnya. Aku terlalu serakah yang hanya ingin mendapatkanmu secara utuh tidak dengan berbagi cintamu. Lupakan aku, perempuan yang pernah menganggapmu pria sempurna tanpa celah. (01/03/19)
Waktu telah merubah segalanya, waktu yang mengajarÄ·an tentang kedewasaan dan pendewasaa, namun waktu pula yang terkadang memaksa untuk segera beranjak bila tak mau tertinggal.
Perempuan di depan cermin, bolehkah kau perlihatkan senyummu padaku ?! Jangan bungkam hatimu dan menutup rapat penglihatanmu. Jangan menghindar, jangan dengarkan suara sumbang yang kau dengar itu tidak perlu. Biarkan mereka begitu adanya tapi jangan untuk dirimu.
Hujan yang mulai turun, tak serta merta melelehkan hatimu wahai pecinta hujan, malah hatimu yang kini membeku bertambah dingin oleh angin yang seakan mengingatkan dan membuka kenangan pahit yang sudah dikuburnya. Perempuan itupun mendekat ke arah jendela dan menatap air hujan yang turun dengan derasnya. Bagaimana luka ini akan pulih...?! Meskipun sudah lama dan lukanya sudah pulih, namun ingatan pahit itu masih membekas dengan kuatnya di dalam pikiranku.
Kau yang pergi meninggalkanku tepat satu bulan setelah kita mengucapkan janji pernikahan. Tak terasa air matapun sudah membasahi pipi, mengenang indahnya saat cinta itu hadir diantara kita, dan seketika keindahan itu sirna oleh pengakuanmu bahwa aku madumu. Teramat perih, sakit dan terhianati. Aku yang sah, namun dialah yang seharusnya memilikimu. Apalah arti anji dan cinta yang kau tunjukkan padaku bila kau tak bisa menjaga hati. Apalah arti hidup bersamamu bila disana ada hati wanita yang tersakiti.
Aku telah buta oleh cintamu, namun kau telah bermain dengan hatiku. Sejujurnya sulit untukku melepaskanmu, namun aku juga tak bisa menutup mata dan telingaku dari rintihan hati seorang wanita yang terhianati. Aku tak bisa. Karena itulah aku memilih mundur dan pergi, buatku sakitnya hati tak sebanding dengan kau yang mendua hati.
Kulepaskan dirimu atas nama cinta. Kembalilah kau kepadanya, karena mereka lebih membutuhkan kamu daripada aku. Kembalilah untuk buah hatimu, cobalah untuk hidup dan berdamai dengan hatimu yang lain untuk kesempurnaan sebuah keluarga. Tak perlu kau pikirkan aku, tak perlu kau ingitkan tentang janji dan cinta yang telah kita bina, dan tak perlu lagi kau buktikan untuk hubungan yang didasari ketulusan hati, itu semua tidak perlu karena buatku membagi cinta adalah kesalahan yang teramat fatal. Cinta buatku adalah kepercayaan, ketaatan, dan keseimbangan dan semua itu sekarang tak ada lagi arti seteleh kutahu masalalumu yang tak sendiri.
Aku memilih pergi, berbahagialah kau untuknya. Kembalilah pada mereka, jadikan aku masalalumu. Masa lalu yang tak perlu kau kenang dan kau ingat. Berbahagialah, aku merelakanmu untuknya karena dialah pemilik hatimu yang sebenarnya. Aku terlalu serakah yang hanya ingin mendapatkanmu secara utuh tidak dengan berbagi cintamu. Lupakan aku, perempuan yang pernah menganggapmu pria sempurna tanpa celah. (01/03/19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar