18/10/12

Garam Kehidupan

Suatu hari, tiba dimana perayaan tahunan diselenggarakan. Ini adalah acara dimana seluruh rakyat berkumpul dan raja membagikan hasil panen secara sukarela. Namun seorang anak terlihat

murung di tengah riuhnya suara rakyat disana sini. Lalu mendekatlah seorang guru sufi dan bertanya, “Nak, kenapa hanya duduk-duduk saja? Tidak tertarikkah kamu dengan apa yang akan diberikan raja?” Dia lalu menjawab, “Guru, aku sungguh tidak tahu bagaimana rasanya bersyukur. Belakangan ini, ada begitu banyak hal sulit yang harus aku hadapi, dan ini membuatku menjadi tidak bersemangat.”

Sementara itu, terdengar suara riuh disana-sini. Rakyat begitu gembira sampai masing-masing dari mereka berkata bahwa ini adalah rahmat tak terkira. Bahkan sebagian lagi berucap syukur kepada sang raja karena telah bermurah hati kepada rakyatnya. Mereka juga mendoakan agar sang raja panjang umur dan dijauhkan dari segala penyakit. Melihat itu, sang guru pun kembali berkata, “Kamu lihat, mereka sungguh bergembira, dan kenapa tidak kamu pun ikut bergembira bersama mereka?”. “Apa yang bisa membuatku kembali bersemangat, coba tujukkan padaku, guru” jawabnya.

Sang guru lalu tersenyum, “Nak, coba kamu ambilkan aku segelas air dan satu genggam garam”. Sang murid pun lalu beranjak dan melaksanakan perintah gurunya. “Sekarang, coba kamu masukkan garam tersebut dan aduk merata, lalu kamu minum airnya sedikit”. Sang murid pun melakukannya, dan tak lama kemudian, ia pun meringis keasinan. “Bagaimana rasanya?” tanya sang guru. “Guru tentu sudah tahu, ini asin, dan membuatku mual.”

Sang guru hanya tersenyum dan lalu mengajak muridnya pergi ke sebuah danau. “Sekarang, ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau ini”, ucap sang guru. Tanpa banyak bicara, sang murid pun lalu menebarkannya dengan jumlah garam yang sama seperti saat ia menaburkannya kedalam gelas.

“Sekarang, coba kamu minum airnya dan ungkapkan bagaimana rasanya”. Sang murid menangkupkan kedua tangannya dan lalu meneguk air yang ia ambil perlahan. “Wah, ini segar sekali, guru. Tidak membuatku mual, tidak juga terasa asin seperti air dalam gelas tadi.” Tak berhenti sampai disitu, sang murid pun kembali meneguknya dan lalu mengelap bibir dengan punggung tangannya. Terlihat bahwa dia benar-benar menikmati segarnya air danau yang berasal dari pegunungan itu.

Sang guru pun lalu duduk diantara bebatuan dan berkata, “Nak, segala permasalahan hidup itu seperti halnya segenggam garam. Banyaknya penderitaan yang harus kamu alami, itu hanyalah sebuah catatan hidup. Sebaik apa kamu melewatinya, seburuk apa kamu menghadapinya, dan sesempurna apa kamu mensyukurinya, itulah yang akan menentukan seberapa besar keberhasilanmu kelak. Tidak hanya padamu, tapi seluruh yang hidup di muka bumi, akan mendapatkan hal yang sama. Bahkan mungkin penderitaan mereka jauh lebih berat dari padamu. Tapi Nak, rasa asin dari penderitaan yang kamu alami itu sangat bergantung dari seberapa besar ‘hati’ menampungnya. Semakin besar hatimu, maka akan semakin ringan penderitaanmu. Jadi Nak, untuk menghadapi segala rintangan dan cobaan, berhentilah menjadi sebuah gelas dan mulailah berhati besar seperti danau yang luas. Dan barulah kamu bisa bersyukur atas apa yang telah kamu terima.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar