“Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu.
“Asin. Asin sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk
berjalan ke tepi telaga. Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam
garam, ke dalam telaga itu.
“Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. “Bagaimana rasanya?”.
“Segar.”, sahut tamunya.Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda.
“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam
garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama,
dan memang akan tetap sama.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan,
akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan
didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua
akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan
kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan.
Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung
setiap kepahitan itu.”
Pak Tua itu lalu kembali memberikan
nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu.
Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan
hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam
setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar