Kabar
Itu pun Datang
Semalam ketika lagi enak coret-coret bapak
membuka pintu kamar
"Benk barusan ulis telepon katanya dhe minta dibacakan
yasin ki" kata bapak ketika melihatku belum tidur menyampaikan berita dari
mas ulis yang notabennya masih kerabat dari pihak kakek...
Aku yang mendengar pintu dibuka segera
mengalihkan pandangan ke arah sumber suara.
"Ya enggak kenapa-kenapa, Apa sudah
parah to..." Tanyaku sambil sedikit tergagap menyampaikannya ketika
mendengar pernyataan bapak yang berdiri di depan pintu. "Iya dari kemaren
sudah kritis katanya napas saja susah". Sambung bapak
"Kalau sesak napas dari sakit dulu
sudah sesak napas, malah sampai ngomong susah terbata-bata sambil memegangi
dada gitu kok".
"Bapak sudah enggak mau urusan, besok
saja menjenguk ke rumah sakit itu sudah cukup biar di urus anak-anaknya"
"Gak tau lah benk nantinya gimana,
paling juga meninggal" Aku tau bapak bukan mendiakan yang jelek namun
bapak sudah pesimis dengan pak dhe dengan kondisinya semakin parah seperti itu.
"Mudah-mudahan ini yang terbaik" Tanggapanku datar
karena sudah tak tau lagi mesti ngomong bagaimana. Bapak pun berlalu dan
menutup pintu kamar kembali.
Sepeninggal pintu di tutup perasaan takut langsung
menyergap dalam diriku, melihat langit-langit kamar dan melihat ke arah
luar dari jendela yang belum tertutup korden, hanya melihat gelap dan rasa
takut malah semakin datang menjadi-jadi. Untuk menghalau ketakutan aku
coba alihkan pandangan ke layar monitor melanjutkan corat-coret kembali
dan menyalahan lagu-lagu dari MP3 player di lepi.
Dari kamar terdengar suara hp bapak yang tak
henti-hentinya berbunyi. Malam semakin larut
dan rasa ngantuk pun sudah menguasaiku mata sudah tak dapat
diajak kompromi lagi, lalu aku sudahi corat coretku yang belum selesai.
Dilanjut besok saja pikirku sambil mematikan dan beberes kertas-kertas
yang terlihat berantakan di tempat tidur.
Pagi hari masih bermalas-malasan, selagi libur cuma
tidur-tiduran saja seh mata terpejam namun telinga sudah waspada dan otak
sepertinya juga sudah jalan-jalan ke negeri antaberantah. Walaupun
matahari sudah mulai menerobos masuk kamar tak peduli, tapi ketika
mendengar suara motor langsung saja mata terbelalak dan tak mau terpejam
lagi. Melihat jam dinding terlihat jarum jam menunjuk angka 8 mau tak
mau mesti beranjak dari tempat tidur, berarti suara motor yang aku dengar
tadi adik perempuanku berangkat kuliah. "Tapi kok belum ada
suara gaduh tukang-tukang yang kerja di rumah" pikirku
sambil menajamkan pendengaran. Membuka jendela biar lebih banyak sinar
matahari pagi masuk ke kamar.
"Ooh...ternyata tukangnya sudah datang" aku
melihat 1 tukang yang sudah nangkring di atas atap teras karena minggu ini lagi
membuat teras, lalu aku melihat mas pon satu lagi tukang yang menjadi
kepercayaan bapak yang juga masih sodara (suami dari anak pak dhe ) untuk
memperbaiki rumah yang sampai sekarang belum selesai juga sedang sibuk dengan
hpnya. Aku langkahkan kaki menuju ke kamar mandi namun sebelum sampai
kamar mandi sempat melongok ke arah jendela untuk melihat pemandangan
semarang yang mulai panas. Mataku tertuju pada sebuah "lincak" tempat
duduk di bawah pohon yang memang dibuat untuk ngobrol-ngobrol santai.
Sekelebat bayangan terlintas yang tak aku pedulikan segera bergegas ke
kamar mandi untuk cuci muka. Lalu turun menuju dapur untuk menyeduh
segelas teh yang memang sudah menjadi kebiasaan pagiku.
Duduk di ruang tamu melihat ke arah luar sambil
menikmati segelas teh hangat dan dua potong roti gulung rasa ananas yang
dibeli ibu kemaren satu kenikmatan tersendiri untuk memulai hari. Mencari
remot tv namun karena letaknya agak jauh dari aku duduk urung juga melihat
acara televisi yang aku yakin paling acaranya juga jelek-jelek. Melihat
keluar adik lelakiku lagi asik membersihkan kandang burung
dara peliharaannya ketika ibu keluar dari dapur dan ikut duduk di bangku
ruang tamu.
"Tukangnya
pulang...," kalimat yang diucapkan ibu setelah duduk di kursi dan
sepertinya memang ditujukan untuk memberitahuku.
"Pulang kenapa....?!" Tanyaku yang juga penasaran
"Habisnya dari tadi di bel-bel terus (maksudnya di
telepon). Dari datang tadi setelah memarkirakan motor aku lihat langsung sibuk
dengan hpnya, pencet-pencet terus. Padahal enggak biasanya begitu kalau datang
ya langsung kerja bahkan teleponnya bunyi pun dibiarin saja tapi dari kemaren
teleponnya bunyi-bunyi terus mungkin karena jengkel di telepon terus pulang saja
enggak usah kerja". Cerita ibu
"Kenapa begitu, sampai mesti pulang" Tanyaku
sambil menyeruput teh yang mulai dingin dan terasa pahit walaupun tadi sudah 2
sendok gula aku taruh, mungkin karena terbiasa menggunakan gula batu makanya
enggak ngaruh kali ya 2 sendok gula dalam segelas teh.
"Sekarang mana enak kerja di bel-bel terus ya jengkel
makanya lebih memilih pulang tidak bekerja hari ini"
"Ya harusnya yang lain tau lah sedang kerja jangan
ditelpon-telpon terus" aku mulai sedikit sewot seakan hbisa merasakan apa
yang dialami mas Pon.
"Pikirku ya gitu" Tambah ibu menanggapi omonganku.
"Harusnya kan ada rasa sungkan juga, benar setelah
menikah mas Pon juga sudah menjadi anak Dhe tapi bagaimanapun dia kan cuma anak
mantu bukan anak kandung, harusnya telepon-telepon ya sama mbak Eny bukan sama
mas pon"
"Sekarang yang nungguin pak dhe siapa bu"
"Kalau sabtu begini pada libur semua"
"Lha iyo, udah ada yang nungguin masih ganggu-ganggu
orang kerja nanti kan juga tau sendiri enggak mungkin mas Pon berpangku tangan
toh selama Pak Dhe sakit mas Pon juga yang repot"
"Lek'e (mas pon) selama dhe di rumah sakit mana mau
datang, kemana-mana suruhan Eny, saking budrek (jengkel) di recoki terus"
"Dari
semalam hp bapakmu di chase bunyi terus, padahal bapakmu sudah tidur kebangun
lalu tidur lagi, tidur lagi lalu tok tok tok... ( Ibu menirukan suara pintu
yang di ketuk) Dhe Pi kesini. Aku jam 9an pas siliwangi mulai sudah tidur tapi
kebangun suara hp bapakmu berisik baru bisa tidur lagi jam 1an". Ibu tak
kalah antusias menceritakan kejadian semalam.
"Tok toook tok....., apa bu?" tanyaku yang agak
bingung
"Itu to Pak Dhe-mu Pi malam-malam kesini"
Dhe Pi ini adalah adik kandung Dhe Di dan mereka anak dari
kakaknya kakek (ribet kan aku juga bingung kalau sudah masalah silsilah urutan
keluarga, apalagi kalau sudah ngurutin anak sambai cucu dijamin bingung padahal
sodaraku banyak juga yang ada di semarang namun karena sudah jarang komunikasi
ataupun ketemu menjadikan sudah luntur dan generasi mudanya tidak tau
urut-urutannya.
"Ngapain...."
"Gak tau cuma masuk sebentar lalu mereka berdua ngobrol
di luar"
Ibu melihat ke luar dan ternyata ada mas Ngadino di
jalan yang sepertinya mengajak ngomong ibu dari jarak jauh.
"Enggak tau" terdengar suara ibu dan aku
pun mengikuti arah pandangan ibu yang melihat ke jalan depan rumah.
"Apa bu...?!"
"Itu lho Ngadino tanya 'jadi meninggal', ibu jawab
enggak tau memang ibu enggak tau lagian tau darimana ibu enggak
kemana-mana"
"Siapa dhe Di ya"
"Iya"
"Semalam di kamar ibu mencium bau parfum wangi
banget, seperti parfummu"
"Parfumku...?!" Memperjelas omongan ibu
barusan dengan sedikit terkejut dan bingung
"Iya, awalnya ibu pikir bapakmu
nyemprotin pengharum ruangan tapi aku lihat enggak, baunya seperti
parfummu tapi ini lebih wangi lagi"
Lalu aku ceritakan juga ketakutanku setelah berbincang
dengan bapak semalam tentang Dhe Di yang lagi kritis di rumah sakit.
"Ya tidur sama adik to kalau takut"
Sepertinya ibu benar-benar menangkap ketakutanku
"Emoh..."
"Harusnya Dhe Yem 'nyelondoki' ke rumah
sakit tubuh Dhe Di di lap-lap di sibini, minta maaf lalu
memeluk Dhe. Nanti kalau sudah enggak ada apa enggak menyesal..."
"Biarin bu dosa ditanggung sendiri-sendiri"
Jawabku seadanya
"Bukan masalah dosa tapi penyesalan" aku sudah
tidak bisa menanggapi karena tau bagaimana anak dan istrinya memperlakukan Dhe
Di yang lagi sakit.
Aku teringat hpku yang berada di kamar. Aku berjalan ke
dapur untuk menambah teh yang sudah habis aku minum. Namun setelah menuang teh
ke cangkir, aku ke atas menuju kamar untuk melihat hp. Ternyata benar
perkiraanku ada 2 panggilan tak terjawab dari bapak, aku coba telepon balik
sambil berjalan menyusuri tangga ke bawah namun sudah aku coba menelepon hingga
beberapa kali tapi tak diangkat lalu aku sms saja siapa tau bapak balik telepon
seperti biasanya. Dugaanku salah, bapak enggak telepon-telepon.
"Bapak telepon" Kataku kepada ibu yang
melihatku sedang menelepon.
"Memangnya bapakmu kemana...?!"
"Enggak diangkat"
"Lho katanya bapak yang telepon kenapa enggak
diangkat" sepertinya ibu sedikit bingung
"Iya, tadi bapak telepon tapi enggak aku aku
angkat kan gak dengar makanya ini aku telepon balik malah enggak diangkat"
"Ooow...."
Tiba-tiba terdengar suara pengeras suara mushola yang
menyuarkan berita duka cita. Kami mendengarkan secara seksama apa yang
diberitakan
"Innalillahi wainnalilahi rojiun, ell beneran
meninggal"
"Mungkin ini yang terbaik bu"
"Meninggalnya jam berapa ya bu, tadi tidak disebutin
jam meninggalnya"
"Mudah-mudahan diterima di sisi-Nya,
dipermudah jalannya dan diampuni segala dosa-dosanya Ya ALLAH" aku
melihat mata ibu merah dan berkaca-kaca ketika berbicara dan berdoa untuk
pak Dhe, tak tega aku melihatnya.
"Tau darimana kalau pak Dhe mu sudah meninggal
ya..." tanya ibu kemudian
"Mungkin dari bapak kali, makanya bapak tadi
telepon mungkin mau memberitahukan ini"
"Memangnya bapakmu kemana..."
"Enggak tau"
"Yang ngumumin saja suaranya seperti mau menangis"
"Mana....?"
"Yang ngumumin itu to, suaranya bergetar seperti mau
menangis. Mungkin Kisyadi terasa juga setelah meninggalnya"
Benar
juga omongan ibu, terdengar suaranya agak sedikkit sengau dan bergetar. Mungkin
karena sudah mengenal dekat sehingga ada rassa kehilangan juga.
"Buruan
ibu mandi trus kesana....."
"Kamu makan dulu, nanti sampai sore malah maag
kambuh, nanti disana paling-paling juga kamu enggak mau makan apa-apa,
kalau ibu sudah kenyang tadi makan roti sepotong"
"Aku malah sudah makan 2 potong"
"Kalau sudah begini rasanya kenyang, sudah enggak
ingin makan apa-apa"
"Sama, perutku mual rasanya penuh" Akupun
beranjak untuk mandi.
"Anak-anaknya pada neko-neko" kata
bapak ketika sampai dirumah, mungkin bapak dari rumah Dhe Di yang hanya beda
dua gang dari rumah.
"Neko-neko gimana pak" Tanyaku yang agak bingung
dengan neko-neko yang bapak ucapkan takut salah penafsiran tak
seperti yang dimaksud bapak
"Yang satu inginnya begini yang itu gini pokoknya
macem-macem benk"
"Lah, berduka kok aneh-aneh emange nikahan"
jawabku seadanya
"Emboh benk yang penting sudah bapak beresin
semuanya, sudah bapak belikan permen, aqua,
rokok yang lainnya biar diurusi sendiri. Bapak pusing"
"Masak nasi, nasinya masih enggak...??" Tanya
bapak sambil menyeruput teh yang sudah dingin
"Tinggal
dikit" jawabku yang tau jika nasinya tinggal dikit karena aku tadi sudah
membukanya, hehehehee....
"Ya masak, nanti kalau yang dari desa datang"
"Katrin sudah kamu kabari"
"Belum...."
"Di kabari, biar menjadi perwakilan yang dari desa.
Yang di desa sudah bapak kabbari semua, mau datang atau enggak terserah yang
penting sudah di kabari. Pak Dhe Ratno sudah dikabari bilangnya juga masih
layat, ya bapak bilang ini hanya mengabari saja kok mas, Pak Dhe Giono juga
sudah bilangnya iya-iya, yang di Karang Ayu juga sudah. Terserah mereka mau
datang apa enggak, nanti kalau kesini paling-paling juga langsung ke rumah ini
dulu kalau tidak ada nasi repot. Teremos-teremos juga di isi"
"Inggih bapak" tanpa menunggu perintah dua kali
langsung semua aku kerjakan.
BERSAMBUNG