Selalu ada cerita dalam kehidupan kita, inilah mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan kisah kali ini. Tahun 2008 pertama kali pergi jauh dari orang tua yang katanya demi masa depan, merantau ke kota orang untuk mendapatkan kepingan receh demi penyambung hidup.
Kisah berawal ketika pindahan kantor, pindah dari kota Semarang ke Surabaya entah apa alasannya yang tau hanya bos dan penggede-penggede saja kalau kita sebagai prajurit tinggal nurut apa perintah bos saja. Tidak hanya satu dua orang yang pindah namun satu bagian semua ikut pindah namun itu juga tidak diharusnkan karena ada penawaran ingin ikut apa enggak dan yang enggak akan di kembalikan ke cabang dimana awal berada mengingat kita semua adalah orang-orang dari cabang yang di rekrut menjadi satu bagian yaitu sattlement pusat.
Ketika pindahan aku ikut rombongan cowok-cowok naik mobil mengawal truk yang membawa beraneka ragam barang kantor dan juga peralatan kita disana sedangkan rencananya Esti dan Prima akan menyusul diantar keluarga mereka. Sebagai konsekuensi berada di tanah perantauan kantor memberi penggantian uang tiket pulang namun hanya untuk dua minggu sekali. Mulai dari sanalah untuk menghemat waktu dan tenaga aku dan beberapa teman yang lain menggunakan kereta untuk mengantar ke kota domisili masing-masing. Pertama kali merasakan ketangguhan ular besi, karena masih awam dan tak mengerti bagaimana prosedur dan memang baru pertama kali menggunakan jasa transportasi darat yang satu ini membuat kami (aku, Esti dan Prima) sedikit kesulitan. Pulang ke Semarang tiket sudah di tangan melalui jasa penyedia tiket. Esti pulang sore sehabis kerja langsung berangkat sedangkan aku pulang pagi hari mengingat malam masih bekerja hingga pagi dan Prima memilih untuk bareng aku pulangnya meskipun Prima kerjanya pagi seperti Esti.
Belum mendapat tiket balik, Esti yang sudah sampai duluan di kota Semarang setelah sampai di stasiun Tawang berinisiatif membeli tiket balik sekalian dan menawarkan pada aku dan Prima tiket yang sama pikirku sementara pulangnya bareng dulu sambil mempelajari rute dan tata cara menjadi penumpang yang baik, membiasakan lah istilah kerennya. Membeli tiket untuk senin dini hari jam 1an kelas eksekutif, beres tiket balik sudah didapat.
Keesokan harinya hari sabtu aku dan Prima berangkat ke stasiun menggunakan taksi ini karena kami tidak tau jurusan angkot selain itu juga untuk mempercepat agar tak ketinggalan kereta. Berada di tempat yang belum pernah aku datangi, terasa asing diantara hiruk pikuk penumpang yang lain. Menunggu kereta sambil mengamati situasi di sekeliling, hingga akhirnya kereta yang ditunggu pun tiba. Mencari gerbong dan tempat duduk dengan bantuan selembar kertas di tangan (tiket) berebut dengan orang-orang yang ingin turun dan naik berharap tidak salah gerbong apalagi salah kereta. Ternyata begini rasanya naik kereta, enak juga santai dan nyaman terang saja kereta kelas eksekutif gitu loooh...
Jam 08.00 teng kereta berangkat, mengingat kereta yang aku tumpangi adalah kereta kelas eksekutif sehingga berjalan bebas hambatan karena kereta lain lah yang akan berhenti jika berpapasan atau ingin menggunakan rel yang setelah kereta yang aku tumpangi. Segar melihat dari balik jendela sawah dan ladang serta rumah-rumah penduduk. Sesekali jeprat-jepret pemandangan maupun sekedar selfi menggunakan kamera hp yang saat itu hasilnya masih bruwet namun sudah termasuk canggih di jamannya. Di tengah perjalanan di dalam kereta ada petugas mendorong troli dengan beberapa menu makanan di piring seperti nasi goreng, steak, dan beberapa menu lain. Petugas itu hanya menawarkan pilihan menu kepada setiap penumpang, karena aku tak berminat dengan menu yang ada lain halnya dengan Prima yang memilih nasi goreng, kebetulan kami berangkat tadi memang belum sarapan, sengaja juga enggak beli sarapan karena dalam tiket tertulis mendapat sarapan. Nasi goreng yang rasanya amburadul kagak karu-karuan itu pun tak habis termakan, namun yang paling menggemaskan dalam cerita ini adalah ketika seorang petugas yang menyerahkan nota nasi goreng yang barusan dia makan. Bengong dan gondok, wkakakakka..... Ternyata piring-piring yang dijajakan tadi itu dagangan bukan servis dari kereta, karena setelah insiden inibaru deh nasi gratisnya datang. Hmmmm... cerdik juga strategi penjualannya, sepertinya sama dengan menu yang tadi cuma penyajian dan porsinya saja yang beda kalau tadi yang di jual pake piring bagus kalau ini menggunakan piring yang bersekat-sekat untuk tempat lauk dan terbuat dari bahan tahan banting. Namun yang bikinn gondok itu harga nasi gorengnya yang biasanya hanya Rp 6000-10.000/porsi ini harganya kalau enggak salah ingat Rp 28.000;- Kejadian inilah yang sampai sekarang bisa bikin kita tertawa bila mengingatnya.
---***---
Belum juga tuntas meluapkan kerinduan dengan rumah sudah harus balik. Ikut kereta dari Jakarta jam 01.00 dinihari. Terpaksa merepotkan bapak untuk mengantarkanku ke stasiun yang jaraknya dari ujung ke ujung, disana sudah ada Esti yang diantar Lala (waktu itu statusnya masih pacar) dan Prima yang diantar kakak dan sepupunya dengan barang bawaannya yang lumayan banyak, paling-paling persediaan makanan, mie instan dan lauk kering untuk dua minggu kedepan seperti yang sudah kita rencanakan sebelum mudik. Ketika kereta datang kita pun berdesak-desakan dengan penumpang lain untuk berlomba mencari tempat duduk, tidak seperti waktu berangkat yang langsung menemukan tempat duduk kali ini tempat duduk yang tertera di tiket sudah ada orangnya trus kita gimana.... belum mendapat tempat duduk namun kereta sudah jalan hingga mba Febi kakaknya Prima yang ikut mengantar masuk ke kereta terjatuh ketika lompat dari kereta.
Nasib kita gimana, masa sampai Surabaya berdiri kaya naik bus lagian ini juga akan mengganggu kenyamanan pemumpang lain. Tak lama berselang ada petugas yang mengontrol penumpang tiap gerbong, kami pun menanyakan doble tiket yang terjadi setelah mendengar penjelasan kami petugas itu pun minta ijin untuk menanyakan kepada atasanya sambil membawa tiket-tiket kami. Lumayan lama juga menunggu sebelum petugas tadi datang bersama dengan seorang bapak-bapak yang gembul dengan perut membuncit, petugas inilah yang menjabarkan menggurai kejadian yang terjadi memang sebenarnya tidak ada doble tiket hanya kamilah yang salah membeli tiket, di tiket tertera tanggal hari ini seharusnya bila menaiki kereta yang sedang kita tumpangi ini masih menggunakan tanggal kemaren karena kereta yang berasal dari Jakarta berangkat jam 11 malam, sedangkan prosedur yang berlaku saat itu stasiun pemberhentian mengikuti tanggal dimana asal ketera itu berangkat bukan tanggal hari ini, jadi intinya tiket kami salah. Tiket ini untuk keberangkatan hari selasa dinihari bukan senin dinihari seperti penalaran kami.
Terus kami gimana, karena aku dan prima sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud kali ini Esti yang ambil tindakan pake jurus ngeyel dan memelas. Nego dengan bapaknya dan menjelaskan tentang tidak mengertian kami masalah tiket oleh bapak yang gembul itu kita dibiarkan tetap naik namun oleh bapak pemeriksa tiket (bapak yang kurus yang pertama kali menangani masalah ini) tiket kami mau di minta namun Esti dengan beraninya menolak untuk menyerahkan tiket dengan alasan tiket ini untuk ditukar di kantor mungkin karena iba melihat kami bapak gembul itu pun membiarkan kita tetap naik dan tidak meminta tiket yang salah. Mengingat kursi penuh sementara kita bertiga diminta untuk berdiri dulu hingga ada penumpang yang turun di stasiun berikutnya. Ya sudahlah, yang penting tidak di turunin dari kereta.
Insiden ini sudah menyita perhatian sebagian penumpang dan karena tidak mau lagi berlama-lama menjadi pusat perhatian lagian juga tidak enak juga berdiri terus sepanjang perjalanan makanya kami bergeser ke arah belakang, di dekat toilet tapi bukan pas di sambungan gerbong ya. Mulailah lesehan mencari tempat untuk meluruskan kaki yang sudah mulai pegal. Sudah salah kereta, duduk lesehan namun masih saja bisa ketawa, menertawakan kejadian yang baru saja terjadi ditambah lagi bernarsis ria foto-foto dengan kamera ponsel hingga terkadang penumpang lain yang ingin ke belakang dan melewati kami menjadi sungkan sendiri.
Setelah di stasiun selanjutnya ternyata ada yang turun seperti yang dikatakan petugas tiket, dan kami pun di undang untuk menempati kursi kosong tersebut, namun petugas itu masih berusaha untuk mendapatkan tiket kami tapi Esti tetep kekeh tidak mau memberikannya hingga petugas itu pun pergi dengan raut muka yang sangat jelek. Mungkin tiket kami diminta dan akan di tukar di stasiun selanjutnya lumayan kan dapat penggantian uang walaupun separo karena dianggap membatalkan keberangkatan yang sudah terjadwal. Dan karena masih gondok inilah ketika pembagian sarapan dan teh hangat kami bertiga hanya di lewati saja, petugas itu memberi kode kepada pengantar makanan untuk melewati kami. Silahkan saja dilewati kami hanya ingin melanjutkan tidur yang sedikit terpotong malam ini.
Inilah kisah unik yang tidak semua orang punya, berada di gerbong eksekutif namun setengah perjalanan dihabiskan dengan duduk lesehan di dekat toilet. Untung saja tidak di turunkan di stasiun pemberhentian selanjutnya. Belajar dari kejadian ini, kepulangan berikutnya tiket kami beli satu minggu sebelum jadwal pulang dan karena tidak tau jika tiket balik juga bisa di beli pernah suatu ketika aku kehabisan tiket hingga mesti berangkat dari Solo. Semarang-Solo naik bus baru dari Solo naik kereta bareng mas Yonny dan mas Agung. Tapi ya itu berhubung mas Yonny orangnya ngirit dan peritungan sehingga hanya memilih kereta ekonomi itu juga hampir ketinggalan kereta. Sungguh berbeda dari segala hal antara kereta kelas ekonomi, bisnis dan eksekutif, inilah yang disebut ada uang ada barang. Dan setelah tau jika tiket balik bisa dibeli di stasiun keberangkatan jauh-jauh hari setelah kejadian-kejadian itu kami (aku, prima dan esti) selalu membeli tiket seminggu sebelum jadwal pulang sekalian membeli 2 tiket berangkat dan tiket balik. Sejak itu juga aku selalu menikmati perjalanan menggunakan kereta walaupun sendirian karena prima seringnya memilih untuk pulang malam bareng Esti.
Aku mulai terbiasa suasana riuh di stasiun ketika menunggu kereta datang ataupun ketika turun dari kereta. Kalau di pikir-pikir sebetulnya mirip anak hilang lho, pakai celana pendek, kaos dan jaket, sendal jepit dan tas ransel di punggung sendirian di keramaian tengak-tengok mengamati kejadian-kejadian yang ada disana, ketika sudah menemukan kursi langsung pasang aerphone, mengatur sandaran dan menghadap ke jendela, aku selalu memilih tempat duduk yang dekat jendela agar bisa melihat dan memotret sawah-sawah ataupun kejadian yang aku anggap lucu dan unik selama perjalanan.
Yang mengingatkan sepanjang perjalanan menggunakan kereta api adalah di kereta selalu mendengar lagu dik-wali dan aku jatuh cinta-roulette pertama kali aku dengar lagunya juga di kereta.
Yang mengingatkan sepanjang perjalanan menggunakan kereta api adalah di kereta selalu mendengar lagu dik-wali dan aku jatuh cinta-roulette pertama kali aku dengar lagunya juga di kereta.