Kata-kata "ora ilok" bagi orang Jawa khususnya orang tua jaman dahulu sering dijadikan senjata untuk mengingatkan sesuatu perbuatan yang tercela, sesuatu yang memalukan atau tidak pantas kepada sang anak. Karakter masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi unggah-ungguh, sopan santun dan tata krama, tujuannya agar orang yang bertindak secara tidak etis akan merasa tindakannya tidak benar dan segera memperbaiki diri.
Dalam kata "ora ilok" memiliki kandungan nasehat yang tersembunyi atau tersirat dan benar, meski kadang orang tua juga tidak dapat menjelaskan makna yang terdapat di dalam kalimat tersebut karena mereka juga dapat larangan dari pendahulunya. Namun ada kalanya alasan yang dikatakan tidak logis, meskipun jika kita pikir ulang ada benarnya juga tentang larangan dengan kata "ora ilok'.
Ada banyak contoh yang memungkinkan ungkapan "ora ilok", misalnya:
Ada banyak contoh yang memungkinkan ungkapan "ora ilok", misalnya:
- Mangan ojo lungguh nang lawang (makan jangan duduk di depan pintu), logikanya kalau makan di depan pintu tar ada orang masuk piringnya kesenggol pecah gak jadi makan. Tidak sopan bila di lihat orang lain, nanti kalau mau ada yang mau bertamu gak jadi gara-gara yang punya rumah mash makan. Bila wanita yang makan di depan pintu nanti kalau ada cowok yang liat tidak jadi suka gara-gara liat sikapnya yang tidak sopan.
- Wong wadon yen lingguh ojo jegang (perempuan kalau duduk kakinya jangan terangkat), logikanya perempuan identik dengan pakaian rok kalau kaki terangkat tar rok juga ikut kebuka donk.
- Nek mangan kudu di entekke, mengko pitike mati (kalau makan harus di habisin, biar ayamnya ga mati) logikanya membuang-buang makanan tidak baik (mubadzir), dalam agama pun diajarkan untuk menghargai makanan. Bila makanan tidak habis nanti sisanya di kasih ayam sehingga ayam cepat besar terus di potong ayamnya mati.
- Yen gawe sumur opo kamar mandi ojo neng ngarep omah (kalau menggali sumur atau buat kamar mandi jangan di depan rumah) logikanya, tidak pantas dilihat tamu, potensial menimbulkan kotoran, bau dan dapat membahayakan anak kecil.
- Mangan ojo kecap (makan jangan bersuara), tidak sopan
- Orak ilok ngidoni sumur, mengko ndak suwing (jangan meludahi sumur nanti sumbing), sumur itu dipakai buat kepentingan minum, masak, mandi, dll. Nanti kalau di ludahi nanti sumurnya jadi kotor.
- Ora keno lungo pas bedug utowo surup (tidak boleh pergi ketika adzan atau ketika sudah magrib), bukannya waktu itu buat teman yang beragama muslim saatnya untuk sholat, waktunya saat istirahat dan makan.
- Larangan berpakaian ketat, jika berpakaian ketat susah untuk bergerak dan gerak pun jadi terbatas.
- Berduaan dengan lawan jenis, dalam ajaran agama berduaan dengan lawan jenis bukannya juga di larang, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
- Perempuan keluar malam, sangat riskan karena gelap dan pastinya tidak aman.
- Ora ilok lingguh neng mejo (tidak boleh duduk di meja) meja itu tempatnya buat makanan bukan buat duduk, itu tidak sopan.
- Ora ilok ngelingguhi bantal, mengko ndak udunen (tidak boleh duduk di atas bantal, nanti bisa bisulan), bantal tempatnya buat kepala bukan buat pantat.
Masih banyak lagi larangan-larangan yang di utarakan dengan kata "ora ilok". Namun seiring dengan era globalisasi yang melanda bangsa ini, unkapan "ora ilok" semakin mulai jarang terdengar bahkan ajaran-ajaran dari nenek-nenek kita dulu pun sudah tidak di hiraukan lagi. Nilai-nilai yang ada di masyarakat Jawa yang mengedepankan unggah-ungguh mulai mengalami pergeseran. masyarakat mulai bersikap serba permisif (terbuka) terhadap budaya-budaya asing hingga melunturkan budayanya sendiri.
Kini sudah banyak terjadi perubahan kebudayaan, masyarakat semakin permisif tentang kesopanan. Bayangkan saja dulu perilaku yang dianggap tidak pantas untuk dilakukan karena "ora ilok" berubah menjadi perilaku "ilok" (sah-sah saja) untuk dilakukan. Bahkan ada beberapa yang malah menjadi tren seakan wajib untuk di ikuti agar terlihat gaul dan tidak di anggap ketinggalan jaman.
0 komentar:
Posting Komentar