29/03/14

September #4

Bagai Kaki Gajah


Sampai di rumah hari sudah beranjak siang, mendengar suara motorku ibu  keluar dan berdiri di depan pintu.
"Dari mana saja sampai jam segini baru pulang ?!" Tanya ibu. Baru saja datang sudah di berondong pertanyaan.
"Aduh ibu kaki ku sakit....." Melewati ibu yang masih ada di depan pintu agar bisa segera menyelonjorkan kaki yang rasanya cenat cenut.
"Lha kena apa ?! Pamitnya beli majalah sampai jam segini baru pulang. Memangnya belinya di Amerika ya lama banget."
"Aku habis jatuh, ditabrak motor"
"Jatuh dimana, makanya tidak usah macam-macam cuma kaya gitu sampai di bela-belain. Kalau sudah begini gimana...." Nah kaya gini nih ibu kalau ngomel tidak kenal situasi dan kondisi, sudah tau anaknya kesakitan masih saja diceramahin.
"Suka kok...." Masih ngeyel tidak mau kalah, sambil ngelus-elus kaki yang masih terasa sakit.
"Ibu sakiiiiiiiit....." Manjanya keluar deh kalau gini.
"Memangnya jatuh dimana" Ibu hanya melihat kakiku yang aku elus-elus

Dengan antusias aku menceritakan kejadian yang baru aku alami semuanya tanpa dikurangi dan di lebih-lebihkan, aku kan jujur gak bisa boonk (Kecuali kepepet), Ibu mendengarkan ceritaku sambil sesekali melihat ke arah kakiku yang masih aku elus-elus.
"Makanya kalau naik motor itu pelan-pelan gak usah ngebut, pelan juga nanti nyampai"
"Ini juga pelan ibuuuuu..., mana bisa ngebut kalau jalannya saja jelek berlubang-lubang gitu" Ibu masih berdiri dan memperhatikanku dengan seksama yang peringis-peringis menahan sakit. Mungkin ada rasa iba juga kali ya melihatku.
"Lha bisa jemput adik ga, sudah jam pulang nanti telat simpangan lagi malah kena omel bapakmu lagi."
"Iya."
"Sana berangkat, naik motornya pelan-pelan saja gak usah ngebut-ngebut"

Sambil ogah-ogahan aku pun beranjak dan berlalu dari hadapan ibu meninggalkannya yang masih berdiri di tempat semula. Walau malas untuk keluar karena cuaca terik, namun demi tuntutan kewajiban yang mendapat amanat dari bapak. Sudah tau panas tapi masih saja mengenakan celana pendek (pendeknya selutut ya, catat itu) dan jaket pun tak ketinggalan serta sendal jepit kebanggaan meluncur menuju sekolah yang dulu juga menjadi sekolahku SMPN 39. Gedungnya semakin tertata rapi dan terlihat megah. Guru-gurunya ada sebagian yang baru dan sebagian juga masih aku kenal. Sudah tak ada tempat teduh yang tersisa, semua sudah di tempati oleh para penjual jajan yang mangkal di luar pagar sekolah dan berbagi dengan penjemput-penjemput yang datang lebih awal. Riuh dan membingungkan itu lah yang selalu sama dari jamanku hingga sekarang. Terkadang sampai bingung yang jemput itu ada di sebelah mana, sudah datang atau memang enggak di jemput saking banyaknya murid dan penjemput yang berjubel. Memory putih piru

Sudah tak ada tempat teduh yang tersisa, semua sudah terisi dengan pedagang  dan barisan motor maupun mobil yang sudah standby di luar pagar sekolah. Biarlah agak panas sedikit yang penting terlihat. Tak berapa lama menunggu orangnya datang juga dan tanpa banyak cing cong langsung aku melaju kembali ke rumah. Namun di sepanjang perjalanan kaki kananku terasa perih karena sendal jepit yang aku pakai. Beberapa kali hanya aku lihatin saja, namun sepertinya perihnya sudah kagak nahan, motor aku pinggirkan dan aku copot sendal yang sebelah kanan dan aku suruh adiku bawa. Kakinya mulai bengkak, terasa perih dan sakit. Selama perjalanan menuju ke rumah aku hanya mengenakan 1 sendal yang sebelah kiri, bodo amat orang mau liatin perihnya kagak nahan. Badan juga sudah mulai terasa pegal-pegalnya, aduuuuh ngalamat ini. Menahan sakit itu sesuatu banget ya..... Sepanjang jalan ketika ada adegan ngerem selalu kata "aduuuh" terucap walau tak terdengar, berjalan pelan dan berjaga-jaga menggunakan rem depan sedangkan rem belakang hanya sebagai penyeimbang sambil berharap kagak nyungsep karena keseringan pake rem depan.

Sesampainya di rumah terlihat ibu masih duduk-duduk sambil melihat televisi. Sendal yang tadi di bawa adiku langsung saja dilempar begitu saja, dasar tidak sopan.
"Sendal siapa di lempar-lempar gitu...?!" tanya ibu sambil melihat ke arah kami.
"Tu sendal mbak li, tadi di tengah jalan suruh bawain" jawab adiku yang tanpa ekspresi sambil ngeloyor pergi.
"Kenapa pakai sendal cuma satu yang satu di copot." tanya ibu kepadaku
"Kakiku sakit." sambil jalan terpincang-pincang
"Ni lihat kakiku mulai bengkak kan, warnanya sudah mulai membiru semua." Jelasku.

Ibu dan adik yang sudah berganti pakaian melihat ke arah kakiku yang memang mulai bengkak dengan warna yang agak kehitaman. Namun yang paling nyebelin jempol kakiku bengkak gede banget. Disela-selanya jempol kaki terasa perih (titik tengah jika memakai sendal jepit), disana juga warnanya hitam bahkan sepertinya menjadi pusatnya deh.

Katena sakitnya luar biasa dan aku tak bisa menahan sakit karena memang gak kuat sakit, lalu aku pergi ke kamar dan merebahkan diri disana, berharap dengan berbaring bisa menghilangkan sedikit rasa sakit yang saat ini semakin menjadi-jadi. Rasanya seperti kena pukul martil antara perih, sakit dan nyut-nyutan.
"Ibuuuuuu, kakiku sakit. Hikh.... hikh... hikh...." Melihat ke arah ibu yang berdiri di depan pintu dan melihat ke arahku.
"Terus ibu mesti gimana, di panggilin tukang urut ya....?!"
"Sakit gak....." tanyaku
"Ya sakit dikit, paling yang di pijit yang lain bukan yang pas bengkaknya."
Berpikir sejenak untuk menimbang-nimbang seberapa sakitnya bila dipijit.
"Gak mau ah, sakit"
"Enggak. Enggak sakit, nanti bilang sama tukang pijitnya supaya pelan-pelan, daripada dakit terus gitu"
"Gak mau, sakit"
"Enggak, daripada kesakitan gitu. Nanti kalau sudah lama malah susah, lebih sakit lagi bila dipijit." Ibu mencoba meyakinkan mungkin tidak tega melihatku yang dari tadi merintih kesakitan.
"Iya deh, tapi bener gak sakit kan" Masih belum yakin
"Iya enggak..., enggak. Biar cepat sembuh" Ibu pun berlalu pergi ke rumah tetangga yang kebetulan ada yang bisa mijit.

Sore tukang pijitnya baru bisa datang, dasarnya tidak pernah pijit baru di pegang dikit sudah kesakitan. Benar saja mijitnya pelan-pelan dan tidak sakit, yang di pijit juga hanya tubuh bukan kaki yang bengkak. katanya biar urat-uratnya tidak kaku, biar ototnya mapan. Yang bagian sakit nanti jika bengkaknya sudah hilang. Kalau bengkak di pijit bisa-bisa teriak-teriak nanti karena sakit selain itu juga nyari uratnya agak susah, nanti bukannya tambah baik malah bisa tambah bengkak. Apalagi posisi jatuhku terdudu yang ternyata rawan. Itu penjelasan dari tukang pijit yang bernama mbah sih, orangnya belum terlalu tua kerjaan kesehariannya saat pagi berjualan bubur dan sayur di depan rumahnya.

Mbah Sih juga berpesan, lain kali kalau menemui orang yang jatuh dengan posisi terduduk menyarankan untuk tidak menolongnya berdiri, biarkan si korban berdiri semdiri, karena jika dibantu bisa-bisa malah kejadian salah urat yang bisa mengganggu kesetabilan tulang belakang yang berakibat fatal. Karena posisi jatuh terduduk yang kena benturan sebenarnya tulang belakang dan tulang ekor. Enggak begitu ngerti juga, yang nyantol di otak dari penjelasan mbak Sih cuma satu "bila ada yang jatuh dengan posisi terduduk, janga di tolong biarkan korbannya bangun sendiri" selebihnya hanya menyangkut dikit-dikit. Lama juga mbah Sih memijit, katanya beberapa hari lagi bakal datang lagi untuk memastika urat-uratnya sudah kembali ke posisi semula. Tak apa mbah, mau datang tiap hari juga gak apa-apa, habisnya mijitnya enak tidak sakit.

Waktu masih pijat ternyata bapak sudah datang dan selepas mbah Sih pulang mulai deh sesi tanya jawab dimulai. Bapak tanya terus, bagai seorang terdakwa eeh memang terdakwa dengan kejahatan tidak berhati-hati hingga menjatuhkan motor dan bikin lecet beberapa bagian body motor yang tiap hari selalu di poles dan di lap oleh bapak hingga mengkilap kata orang sampai lalat nempel saja bisa kepeleset. Sebel juga lama-lama di berondong pertanyaan yang ujung-ujungnya malah menyalahkan aku yang katanya naik motor ngebut. Kejam, gak tau apa anaknya kesakitan malah dimarahi. Bapak sama ibu kompakan kali ya mojokin aku dengan kalimat yang sama "naik motor ngebut" , padahal kan enggak dan bila ngomong sama bapak tidak pernah bisa menang, ini yang bikin sebel bagaimanapun pembelaanku selalu saja dibantai habis dengan pertanyaan yang lain dan kalau bapak sudah mengeluarkan kalimat saktinya "TITIK" berakhirlah semua. Tak ada lagi pembelaan yang di dengar, hanya bagai angin yang berhembus dan numpang lewat.

***

Satu minggu berikutnya mbah Sih tukang pijit yang seminggu lalu mijitin aku kini datang lagi untuk mengulang pemijatan akibat terjatuh tempo hari. Namun kaki yang masih bengkak sehingga pemijatan hanya dilakukan di area badan saja seperti seminggu yang lalu sedangkan kaki kanan yang masih bengkak belum tersentuh juga. Benar-benar perih dan bila melihatnya bikin ngilu karena ukurannya yang besar seperti kaki gajah dengan jempol yang bulat tanpa bisa digerakkan apalagi di tekuk rasanya seperti orang geringgingan. Pemijatan untuk melemaskan otot-otot yang kaku yang menggumpal akibat terjatuh dan capek-capek. Kali ini pemijatan tidak begitu lama dan dilakukan siang setelah mbah Sih selesai jualan dan berbelanja membeli bahan-bahan dagangan buat jualan besok.

Lumayan badan sudah enakan dan otot-otot juga sepertinya sudah benar pada tempatnya. Kaki juga sudah lumayan enak walaupun masih bengkak namun sudah bisa buat jalan meskipun masih tertatih-tatih sudah tidak seperti di awal-awal jatuh sebelum dipijat. Mudah-mudahan dalam beberapa hari kedepan bengkaknya sudah hilang dan bisa sembuh seperti sedia kala.

BERSAMBUNG....


0 komentar:

Posting Komentar