30/03/14

September #5

Kebakaran


Sabtu malam minggu yang katanya malam panjang, terang saja malam panjang habisnya bisa tidur sepuasnya ataupun begadang sampai pagi karena besoknya libur. Karena kaki masih bengkak dan memang aku tak suka pergi-pergi kalau tidak ada tujuan ataupun tidak ada janji memilih di rumah membunuh waktu dengan menonton acara televisi yang tidak begitu bagus (menurutku)

Hari mulai beranjak malam, rumah sepi bapak lagi ngerumpi di bawah pohon beringin bersama bapak-bapak tetangga yang lain, adik-adikku sedang asik sendiri dengan dunianya di kamar masing-masing, sedangkan ibu entah apa yang dilakukan waktu itu. Aku hanya sendirian menonton televisi di ruang tamu, namun disela-sela menyaksikan acara televisi terdengar ayam-ayam ibu yang berada di samping kanan rumah pada petok...petok...petok..., gaduh dan ini tidak biasanya ayam-ayam ini ramai ketika malam. Karena merasa terganggu dengan suaranya aku pun keluar, walau hanya di depan pintu sambil sekali-kali mengetuk-ngetuk kayu dengan harapan ayamnya berhenti bersuara. "Huuuuusss...." mencoba membuat suara agar ayamnya diam, namun itu hanya bertahan beberapa detik saja. 

Setelah aku masuk, ayam-ayam itu mulai ribut kembali. Biasanya ayam ribut kaya gini karena melihat orang asing yang datang ke rumah, Apakah ada yang mau maling ayam ? Pikiranku mulai aneh-aneh. Aku lihatin ke luar dari arah kandang ayam aku melihat cahaya berwarna orange "Apa ya itu....?" Penasaran aku pun keluar untuk melihat, namun karena hanya setengah hati makanya hanya melihat dari jendela. Mungkin lampu di kandang ayam dinyalakan ibu, tapi kok tumben-tumbenan cahayanya sampai keluar dan warnanya orange  terang bukan kuning.

Pertanyaan dan pembenaran silih berganti bermunculan di kepalaku. "Biarin saja lah...." berlalu dan kembali di depan layar kaca walaupun sekali-kali masih melihat ke arah cahaya yang berasal dari kandang ayam dan juga ayam-ayam itu masih ribut. Suaranya seperti keributan, pikirku mungkin ada tikus masuk kandang makanya ayam-ayam itu pada takut.

Tak berselang lama, dari arah jalan ada yang teriak "kebakaran... kebakaran.... kebakaraaaaaan....." dan menunjuk-nunjuk ke arah rumahku. Kontan saja aku kaget dan bapak berlari-lari ke dalam rumah dan menyuruh kami keluar semua. Aku panik, bingung tak tau mau ngapain. Mau membuka pintu belakang dan mencoba memadamkan api yang sudah membesar tapi takut, lalu aku urungkan niat. Bapak yang melihatku masih di dalam teriak-teriak untuk segera keluar dan bilang agar barang berhargaku dibawa dan supaya kamar-kamar di kunci.

Di luar sudah banyak orang yang berdatangan untuk membantu memadamkan api. Kakuku yang masih bengkak membuat jalanku pelan dan tertatih-tatih. "Air...air.... cepat..... sepelah sana.... air.....", teriakan-teriakan dari orang-orang yang berada di atas genting silih berganti entah ditujukan kepada siapa yang pasti agar orang yang dekat dengan drum-drum penampungan air yang ada di pojok rumah bisa cepat memberikan air secara estafet. "Barang-barangnya di keluarkan dulu....., barangnya banyak bagaimana ngeluarinnya....., yang bisa dikeluarkan di pindahkan dulu sementara..... Hooooi motornya di keluarin, sekalian burung-burungnya nanti malah stres". Begitu banyak teriakan yang entah siapa dan kepada siapa, televisi, burung, motor di keluarkan semua dan di teruh di mushola ibu dan adik perempuanku disuruh jagain barang-barang itu karena takut ada tangan-tangan jahil yang memanfaatkan situasi yang lagi kacau.

Teriakan minta air masih saja terdengar. Kabel listrik di putus agar api tidak merembet ke rumah tetangga. Minimnya penerangan di atap rumah menjadi sedikit kendala, hingga karena kurang hati-hati ada salah seorang yang ikut membantu kakinya terperosok karena menginjak esbes dan hancur ada juga yang menginjak paku. Untung saja tidak sampai jatuh ke bawah, tapi kalaupun jatuh sepertinya tidak sakit deh, karena tepat di bawahnya ada kasur yang empuk.

Aku hanya diam duduk di pinggir pojokan mushola sambil memegangi buku yang berisi amplop berisi uang yang aku kumpulkan dari uang jajanku. Di depanku berdiri banyak orang, baik itu anak-anak hingga orang tua semuanya berdatangan untuk menyaksikan musibah yang datang dari jalan. "Telepon pemadam kebakaran saja" terdengar obrolan diantara riuhnya orang-orang "Jangan nanti urusannya jadi panjang bisa sampai ke polisi, lagian blangwir sampai sini butuh waktu, iya kalau tau jalannya belum nanti ngisi airnya dulu di sungai. Sini jauh dari sumber air mau diambilkan dari mana...." Berbagai argumen dan ide-ide keluar dari orang-orang itu entah siapa namanya karena aku tidak begitu kenal juga dengan mereka.

Rasa deg-deg-an dan takut menghinggapi hingga hanya duduk di pojok sendirian berdoa dalam hati menyaksikan orang-orang itu yang mencoba menaklukkan api dengan alat seadanya karena susah, medan yang gelap sepertinya sedikit menyulitkan hingga orang-orang yang ada di bawah mencoba mencari akal mencari penerangan untuk yang di atas agar bisa tepat sasaran mematikan api dan tidak terperosok lagi. Ketemulah ide dengan menggunakan lampu motor-motor yang tadi dikeluarkan. Dinyalakan dan lampu diarahkan ke atap, dengan begini ada cukup cahaya untuk orang-orang yang beralulalang dalam berestafet menyalurkan air agar api segera padam.

Setelah berjuang dengan kerja keras dan kerjasama para warga akhirnya bisa dipadamkan juga. Entah berapa orang yang ada di atas yang pasti banyak deh. Untuk memastikan api benar-benar padam beberapa orang mencoba menyisir sumber api, sekalian mencari tau sumber kebakaran. Ternyata sumbernya berasal dari tungku kayu yang biasanya digunakan ibu memasak air untuk minum karena memang di rumah tidak ada yang suka air galon hanya doyan air rebusan. Namun menurut ibu sudah mati hanya tersisa bara karena kayu-kayu yang sisa digunakan untuk masak sudah dipadamkan dan disiram air. Bara yang masih nyala digunakan ibu untuk menanak pakan ayam, mungkin bara yang masih menyala inilah karena terkena tiupan angin menjadi api yang membesar, ya sepertinya begitu. Ini karena tungku ada di luar rumah utama yang tidak ada atapnya, walaupun sudah dikelilingi pagar tembok. Panci yang ada di atas tungku saja bisa sampai bolong karena terlalu lama terpanggang.

Di dalam rumah masih terlihat berantakan dengan air dan kotoran mungkin berasal dari atap-atap yang dijadikan pijakan orang-orang tadi kali ya. Barang-barang pun dikembalikan ke tempat semula, kaki masih bergetar akibat kejadian ini. Tak ada juga yang bisa aku lakukan, memandang rumah yang becek dan kotor karena rembesan dari atap, kaki serasa kram karena bengkaknya lebih besar lagi. Untung saja api segera di ketahui dan beruntung juga banyak warga yang sigap membantu memadamkan sehingga kebakaran tidak meluas dan yang membuat kita bersyukur saat ini angin yang berhembus sangat pelan hingga lebih memudahkan lagi menjinakkan api. Baru kali ini aku tidur dengan atap bolong dan bisa memandang langit yang saat itu hanya sedikit bintang yang terlihat.

Pagi harinya warga bergotong-royong datang kerumah guna membantu memperbaiki dan membersihkan rumah akibat kejadian semalam. Karena banyak genting yang pecah, esbes bolong dan kayu "reng" yang patah akibat terinjak-injak. Sementara beberapa orang ibu-ibu juga membantu memasak untuk makan siang orang-orang yang dengan sukarena membantu memperbaiki rumah. Sempat aku melihat sumber api dan memang disana tergeletak panci hitam yang tengahnya bolong, dinding-dinding yang hitam dan pintu kayu yang di beberapa bagian sudah membentuk cekungan karena terbakar dan menjadi abu. Dari kejadian ini membuat aku sedikit trauma dengan korek api atau pun apa saja yang sifatnya masih ada unsur apinya.

Ketika membersihkan kamar walau dengan kaki terpincang-pincang, ya sebisanya seh sambil meringis-meringis menahan sakit. Dan beruntung juga atap yang bolong karena terinjak itu tetap berada di atas kasurku. Dan ketika melihat dan menata kembali buku yang berisi amplop-amplop yang semalam aku bawa alangkah terkejutnya ternyata yang aku bawa amplop-amplop kosong, sedangkan amplop yang berisi uang jajanku masih tertinggal di meja yang ada di kamar.

Bengkak di kaki dari hari ke hari semakin berangsur membaik, hanya saja luka di jempol kaki seperti di formalin awet mengembung. Hampir 1 bulan merasakan sakit di kaki hingga untuk melangkahpun seakan butuh tenaga ekstra untuk menahan sakitnya. Sampai saat awal kuliah yang diawali dengan OSPEK yang berlangsung selama 3 hari yang dilakukan di kelas ketika itu aku mendapat kelas di lantai 5, di aula lantai 9 dan parkiran motor di lantai 1 aku ikuti dengan jempol bengkak dan kaki juga belum sepenuhnya sembuh total. Bayangkan saja untuk mencapai lantai 5 dan 9 harus melalui tangga, tidak boleh menggunakan lift dan lift juga ada yang jaga pula. Sementara itu kaki masih sakit karena jempol kakinya bengkak namun masih harus menggunakan sepatu kets yang terasa sesak dan menghimpit punggung kakiku yang belum sepenuhnya sembuh 100%.

Hanya bisa menahan rasa sakitnya karena kalau mengeluh pada senior atau panitia bisa-bisa bukan mendapat rasa iba namun bisa jadi hukuman yang aku terima. Untung saja ospek-nya tidak begitu berat, mungkin karena pesertanya yang banyak banget dari 3 fakultas berbeda dengan berbagai macam jurusan dijadikan satu. Sejak dimulainya ospek itulah awal dari kisah baru dalam lingkungan baru "mahasiswa" yang untuk sebagian orang jaman dulu masih terlihat "perlente" dan "sangar" salah satu bentuk perwujudan kebanggaan keluarga yang orang tuanya bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.


BERSAMBUNG....


0 komentar:

Posting Komentar