12/04/14

Selamat Jalan Teriring Doa Untukmu

 Kabar Itu pun Datang

Semalam ketika lagi enak coret-coret bapak membuka pintu kamar
"Benk barusan ulis telepon katanya dhe minta dibacakan yasin ki" kata bapak ketika melihatku belum tidur menyampaikan berita dari mas ulis yang notabennya masih kerabat dari pihak kakek...
Aku yang mendengar pintu dibuka segera mengalihkan pandangan ke arah sumber suara.
"Ya enggak kenapa-kenapa, Apa sudah parah to..." Tanyaku sambil sedikit tergagap menyampaikannya ketika mendengar pernyataan bapak yang berdiri di depan pintu. "Iya dari kemaren sudah kritis katanya napas saja susah". Sambung bapak
"Kalau sesak napas dari sakit dulu sudah sesak napas, malah sampai ngomong susah terbata-bata sambil memegangi dada gitu kok".
"Bapak sudah enggak mau urusan, besok saja menjenguk ke rumah sakit itu sudah cukup biar di urus anak-anaknya"
"Gak tau lah benk nantinya gimana, paling juga meninggal" Aku tau bapak bukan mendiakan yang jelek namun bapak sudah pesimis dengan pak dhe dengan kondisinya semakin parah seperti itu.
"Mudah-mudahan ini yang terbaik" Tanggapanku datar karena sudah tak tau lagi mesti ngomong bagaimana. Bapak pun berlalu dan menutup pintu kamar kembali.

Sepeninggal pintu di tutup perasaan takut langsung menyergap dalam diriku, melihat langit-langit kamar dan melihat ke arah luar dari jendela yang belum tertutup korden, hanya melihat gelap dan rasa takut malah semakin datang menjadi-jadi. Untuk menghalau ketakutan aku coba alihkan pandangan ke layar monitor melanjutkan corat-coret kembali dan menyalahan lagu-lagu dari MP3 player di lepi.
Dari kamar terdengar suara hp bapak yang tak henti-hentinya berbunyi. Malam semakin larut
dan rasa ngantuk pun sudah menguasaiku mata sudah tak dapat diajak kompromi lagi, lalu aku sudahi corat coretku yang belum selesai. Dilanjut besok saja pikirku sambil mematikan dan beberes kertas-kertas yang terlihat berantakan di tempat tidur.
Pagi hari masih bermalas-malasan, selagi libur cuma tidur-tiduran saja seh mata terpejam namun telinga sudah waspada dan otak sepertinya juga sudah jalan-jalan ke negeri antaberantah. Walaupun matahari sudah mulai menerobos masuk kamar tak peduli, tapi ketika mendengar suara motor langsung saja mata terbelalak dan tak mau terpejam lagi. Melihat jam dinding terlihat jarum jam menunjuk angka 8 mau tak mau mesti beranjak dari tempat tidur, berarti suara motor yang aku dengar tadi adik perempuanku berangkat kuliah. "Tapi kok belum ada suara gaduh tukang-tukang yang kerja di rumah" pikirku sambil menajamkan pendengaran. Membuka jendela biar lebih banyak sinar matahari pagi masuk ke kamar.
"Ooh...ternyata tukangnya sudah datang" aku melihat 1 tukang yang sudah nangkring di atas atap teras karena minggu ini lagi membuat teras, lalu aku melihat mas pon satu lagi tukang yang menjadi kepercayaan bapak yang juga masih sodara (suami dari anak pak dhe ) untuk memperbaiki rumah yang sampai sekarang belum selesai juga sedang sibuk dengan hpnya. Aku langkahkan kaki menuju ke kamar mandi namun sebelum sampai kamar mandi sempat melongok ke arah jendela untuk melihat pemandangan semarang yang mulai panas. Mataku tertuju pada sebuah "lincak" tempat duduk di bawah pohon yang memang dibuat untuk ngobrol-ngobrol santai. Sekelebat bayangan terlintas yang tak aku pedulikan segera bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka. Lalu turun menuju dapur untuk menyeduh segelas teh yang memang sudah menjadi kebiasaan pagiku.

Duduk di ruang tamu melihat ke arah luar sambil menikmati segelas teh hangat dan dua potong roti gulung rasa ananas yang dibeli ibu kemaren satu kenikmatan tersendiri untuk memulai hari. Mencari remot tv namun karena letaknya agak jauh dari aku duduk urung juga melihat acara televisi yang aku yakin paling acaranya juga jelek-jelek. Melihat keluar adik lelakiku lagi asik membersihkan kandang burung dara peliharaannya ketika ibu keluar dari dapur dan ikut duduk di bangku ruang tamu.
"Tukangnya pulang...," kalimat yang diucapkan ibu setelah duduk di kursi dan sepertinya memang ditujukan untuk memberitahuku.
"Pulang kenapa....?!" Tanyaku yang juga penasaran
"Habisnya dari tadi di bel-bel terus (maksudnya di telepon). Dari datang tadi setelah memarkirakan motor aku lihat langsung sibuk dengan hpnya, pencet-pencet terus. Padahal enggak biasanya begitu kalau datang ya langsung kerja bahkan teleponnya bunyi pun dibiarin saja tapi dari kemaren teleponnya bunyi-bunyi terus mungkin karena jengkel di telepon terus pulang saja enggak usah kerja". Cerita ibu 
"Kenapa begitu, sampai mesti pulang" Tanyaku sambil menyeruput teh yang mulai dingin dan terasa pahit walaupun tadi sudah 2 sendok gula aku taruh, mungkin karena terbiasa menggunakan gula batu makanya enggak ngaruh kali ya 2 sendok gula dalam segelas teh. 
"Sekarang mana enak kerja di bel-bel terus ya jengkel makanya lebih memilih pulang tidak bekerja hari ini"
"Ya harusnya yang lain tau lah sedang kerja jangan ditelpon-telpon terus" aku mulai sedikit sewot seakan hbisa merasakan apa yang dialami mas Pon.
"Pikirku ya gitu" Tambah ibu menanggapi omonganku.
"Harusnya kan ada rasa sungkan juga, benar setelah menikah mas Pon juga sudah menjadi anak Dhe tapi bagaimanapun dia kan cuma anak mantu bukan anak kandung, harusnya telepon-telepon ya sama mbak Eny bukan sama mas pon"
"Sekarang yang nungguin pak dhe siapa bu"
"Kalau sabtu begini pada libur semua"
"Lha iyo, udah ada yang nungguin masih ganggu-ganggu orang kerja nanti kan juga tau sendiri enggak mungkin mas Pon berpangku tangan toh selama Pak Dhe sakit mas Pon juga yang repot"
"Lek'e (mas pon) selama dhe di rumah sakit mana mau datang, kemana-mana suruhan Eny, saking budrek (jengkel) di recoki terus"
"Dari semalam hp bapakmu di chase bunyi terus, padahal bapakmu sudah tidur kebangun lalu tidur lagi, tidur lagi lalu tok tok tok... ( Ibu menirukan suara pintu yang di ketuk) Dhe Pi kesini. Aku jam 9an pas siliwangi mulai sudah tidur tapi kebangun suara hp bapakmu berisik baru bisa tidur lagi jam 1an". Ibu tak kalah antusias menceritakan kejadian semalam.
"Tok toook tok....., apa bu?" tanyaku yang agak bingung
"Itu to Pak Dhe-mu Pi malam-malam kesini" 
Dhe Pi ini adalah adik kandung Dhe Di dan mereka anak dari kakaknya kakek (ribet kan aku juga bingung kalau sudah masalah silsilah urutan keluarga, apalagi kalau sudah ngurutin anak sambai cucu dijamin bingung padahal sodaraku banyak juga yang ada di semarang namun karena sudah jarang komunikasi ataupun ketemu menjadikan sudah luntur dan generasi mudanya tidak tau urut-urutannya.
"Ngapain...."
"Gak tau cuma masuk sebentar lalu mereka berdua ngobrol di luar"
Ibu melihat ke luar dan ternyata ada mas Ngadino di jalan yang sepertinya mengajak ngomong ibu dari jarak jauh.
"Enggak tau" terdengar suara ibu dan aku pun mengikuti arah pandangan ibu yang melihat ke jalan depan rumah.
"Apa bu...?!"
"Itu lho Ngadino tanya 'jadi meninggal', ibu jawab enggak tau memang ibu enggak tau lagian tau darimana ibu enggak kemana-mana"
"Siapa dhe Di ya"
"Iya"
"Semalam di kamar ibu mencium bau parfum wangi banget, seperti parfummu"
"Parfumku...?!" Memperjelas omongan ibu barusan dengan sedikit terkejut dan bingung
"Iya, awalnya ibu pikir bapakmu nyemprotin pengharum ruangan tapi aku lihat enggak, baunya seperti parfummu tapi ini lebih wangi lagi"
Lalu aku ceritakan juga ketakutanku setelah berbincang dengan bapak semalam tentang Dhe Di yang lagi kritis di rumah sakit.
"Ya tidur sama adik to kalau takut" Sepertinya ibu benar-benar menangkap ketakutanku
"Emoh..."
"Harusnya Dhe Yem 'nyelondoki' ke rumah sakit tubuh Dhe Di di lap-lap di sibini, minta maaf lalu memeluk Dhe. Nanti kalau sudah enggak ada apa enggak menyesal..."
"Biarin bu dosa ditanggung sendiri-sendiri" Jawabku seadanya
"Bukan masalah dosa tapi penyesalan" aku sudah tidak bisa menanggapi karena tau bagaimana anak dan istrinya memperlakukan Dhe Di yang lagi sakit.
Aku teringat hpku yang berada di kamar. Aku berjalan ke dapur untuk menambah teh yang sudah habis aku minum. Namun setelah menuang teh ke cangkir, aku ke atas menuju kamar untuk melihat hp. Ternyata benar perkiraanku ada 2 panggilan tak terjawab dari bapak, aku coba telepon balik sambil berjalan menyusuri tangga ke bawah namun sudah aku coba menelepon hingga beberapa kali tapi tak diangkat lalu aku sms saja siapa tau bapak balik telepon seperti biasanya. Dugaanku salah, bapak enggak telepon-telepon.
"Bapak telepon" Kataku kepada ibu yang melihatku sedang menelepon.
"Memangnya bapakmu kemana...?!"
"Enggak diangkat"
"Lho katanya bapak yang telepon kenapa enggak diangkat" sepertinya ibu sedikit bingung
"Iya, tadi bapak telepon tapi enggak aku aku angkat kan gak dengar makanya ini aku telepon balik malah enggak diangkat"
"Ooow...."
Tiba-tiba terdengar suara pengeras suara mushola yang menyuarkan berita duka cita. Kami mendengarkan secara seksama apa yang diberitakan
"Innalillahi wainnalilahi rojiun, ell beneran meninggal"
"Mungkin ini yang terbaik bu"
"Meninggalnya jam berapa ya bu, tadi tidak disebutin jam meninggalnya"
"Mudah-mudahan diterima di sisi-Nya, dipermudah jalannya dan diampuni segala dosa-dosanya Ya ALLAH" aku melihat mata ibu merah dan berkaca-kaca ketika berbicara dan berdoa untuk pak Dhe, tak tega aku melihatnya.
"Tau darimana kalau pak Dhe mu sudah meninggal ya..." tanya ibu kemudian
"Mungkin dari bapak kali, makanya bapak tadi telepon mungkin mau memberitahukan ini" 
"Memangnya bapakmu kemana..."
"Enggak tau"
"Yang ngumumin saja suaranya seperti mau menangis"
"Mana....?"
"Yang ngumumin itu to, suaranya bergetar seperti mau menangis. Mungkin Kisyadi terasa juga setelah meninggalnya"
Benar juga omongan ibu, terdengar suaranya agak sedikkit sengau dan bergetar. Mungkin karena sudah mengenal dekat sehingga ada rassa kehilangan juga.
"Buruan ibu mandi trus kesana....."
"Kamu makan dulu, nanti sampai sore malah maag kambuh, nanti disana paling-paling juga kamu enggak mau makan apa-apa, kalau ibu sudah kenyang tadi makan roti sepotong"
"Aku malah sudah makan 2 potong"
"Kalau sudah begini rasanya kenyang, sudah enggak ingin makan apa-apa"
"Sama, perutku mual rasanya penuh" Akupun beranjak untuk mandi.
"Anak-anaknya pada neko-neko" kata bapak ketika sampai dirumah, mungkin bapak dari rumah Dhe Di yang hanya beda dua gang dari rumah.
"Neko-neko gimana pak" Tanyaku yang agak bingung dengan neko-neko yang bapak ucapkan takut salah penafsiran tak seperti yang dimaksud bapak
"Yang satu inginnya begini yang itu gini pokoknya macem-macem benk" 
"Lah, berduka kok aneh-aneh emange nikahan" jawabku seadanya
"Emboh benk yang penting sudah bapak beresin semuanya, sudah bapak belikan permen, aqua,
rokok yang lainnya biar diurusi sendiri. Bapak pusing"
"Masak nasi, nasinya masih enggak...??" Tanya bapak sambil menyeruput teh yang sudah dingin
"Tinggal dikit" jawabku yang tau jika nasinya tinggal dikit karena aku tadi sudah membukanya, hehehehee....
"Ya masak, nanti kalau yang dari desa datang"
"Katrin sudah kamu kabari"
"Belum...."
"Di kabari, biar menjadi perwakilan yang dari desa. Yang di desa sudah bapak kabbari semua, mau datang atau enggak terserah yang penting sudah di kabari. Pak Dhe Ratno sudah dikabari bilangnya juga masih layat, ya bapak bilang ini hanya mengabari saja kok mas, Pak Dhe Giono juga sudah bilangnya iya-iya, yang di Karang Ayu juga sudah. Terserah mereka mau datang apa enggak, nanti kalau kesini paling-paling juga langsung ke rumah ini dulu kalau tidak ada nasi repot. Teremos-teremos juga di isi"
"Inggih bapak" tanpa menunggu perintah dua kali langsung semua aku kerjakan.


BERSAMBUNG

0 komentar:

Posting Komentar