12/04/14

Selamat Jalan Teriring Doa Untukmu #3

Selamat Jalan 

Beberapa hari kemudian setelah aku cerita dengan ibu, pas hari minggu ketika bapak lagi duduk-duduk santai di ruang tamu sambil melihat acara televisi.
"Benk Dhe Di sakit, sana lho jenguk ngajak ibu" Tanya bapak kepadaku sehabis pulang beli soto untuk sarapan
Rasanya ingin menceritakan tentang mimpiku kepada bapak tapi antara iya dan enggak tapi tiba-tiba ibu bilang bila aku sudah mimpi. Karena bapak bertanya aku pun menceritakan kembali tentang mimpiku yang beberapa hari yang lalu sudah aku ceritakan kepada ibu. Sebenarnya setelah mimpi itu aku ingin cerita kepada bapak ingin tau apakah ada maksud dari mimpiku itu namun ada juga penolakan dari diriku untuk menceritakannya.

Bapak mendengarkan secara seksama detail dari ceritaku dan setelah cerita usai bapak hanya bilang ngalamat enggak bisa sembuh ini coba nanti bapak tanyakan kepada teman apa maksud dari mimpi itu. Haaaa..., apa maksud perkataan bapak kagak paham. Lalu bapak mengambil hp dan menghubungi seseorang. Sudah enggak aku pedulin yang penting aku sudah cerita plong sudah ganjalan tentang mimpiku. Dulu sebelum ayahnya Putra meninggal aku juga bermimpi aneh dan aku juga cerita kepada bapak biar plong benar saja setelah cerita sudah enggak kepikiran lagi walaupun sesekali mimpi itu masih terlintas dalam pikiran seperti saat-saat ini.

Setelah diberitahu bapak aku dengan diantar ibu pun ke rumah Bu Dhe untuk menjenguk pak Dhe yang sedang sakit. Ketika itu Dhe Di sedang berbaring di kasur, Badannya kurus sehingga kaos yang biasa dipakainya terlihat besar. Mukanya sangat pucat seakan tak terlihat ada aliran darah disana hanya sayu dan lemah. Ketika melihat kami datang Dhe Di berusaha untuk duduk walau dengan bersusah payah dengan bantuan tempat tidur akhirnya bisa juga duduk, napasnya kelihatan ngos-ngosan seperti orang habis lari dan setiap omongannya tidak bisa langsung tuntas karena setiap kata diselingi dengan tarikan napas yang panjang seakan kata-kata yang ingin di ucapkan tercecer di tenggorokan sehingga mesti mengumpulkannya lagi.

Setelah kunjunganku bersama ibu beberapa hari berikutnya Dhe Di sudah bisa main ke rumah namun belum kuat jalan jauh untuk ke rumah mesti minta bantua orang untuk memboncengnya menuju ke rumah (walaupun sebenarnya tidak begitu jauh) pundaknya yang sebelah kiri agak turun dan masih sama napasnya tersengal-sengal setiap berbicara, bahkan hingga memegangi dadanya yang sesak dan susah bernapas. Pak Dhe ku yang satu ini hampir tiap hari main ke rumah jadi jika beberapa hari tidak kelihatan seperti ada yang aneh. Teman berdebat bapak bila malam tiba namun aku sangat tidak suka dengan rokok yang biasa dihisapnya, bayangin saja jika aku yang sensitif terhadap asap rokok namun Dhe kalau sudah merokok bisa 1 bungkus habis dalam hitungan jam kalau ngerokok seperti kereta tidak bisa berenti dan asapnya kemana-mana pastinya. Makanya Pak Dhe paling hapal jika main ke rumah aku langsng setel tipas angin biar asapnya keluar jadi tidak sampai masuk ke kamar-kamar lalu sebelum duduk selalu mencari asbak karena bila tidak begitu aku akan bawel dengan abu rokok yang dibuang di sembarang tempat ketika melihatku selalu berkata, "Ini sudah ada asbak jadi abunya tidak kemana-mana" karena selain bapak akulah orang yang selalu komplen dalam hal asap dan abu rokok di rumah bapak maupun adik lelakiku tidak merokok masalahnya.

Penyakit tua menyebabkan pak Dhe yang berprofesi sebagai penarik becak tidak bisa bekerja kembali namun sangat disayangkan karena semua anaknya tidak ada yang pintar dengannya kecuali mbak Eny. Dari kesembilan anak hanya mbak Eny yang tulus merawatnya namun begitu mbak Eny tidak tinggal dekat rumah, semuanya pada takut dengan Dhe Yem yang suka marah-marah karena dengan Dhe yang tidak bekerja sehingga pendapatannya berkurang sedangkan mereka semua (di rumah masih ada beberapa anak yang masih tinggal bersama walaupun hanya 1 anak yang belum nemikah) membutuhkan makan. Malah tak jarang Dhe Di hanya mendapat makian bila berada di rumah, aku tau sendiri bagaimana pedasnya omongan bu Dhe yang sangat semena-mena terhadap suami. Bahkan tak jarang untuk makan dan minum di rumah sendiri saja mesti mendapat omelan maut terlebih dahulu dari bu Dhe.

Akhir-akhir ini setiap aku ingin mandi untuk bersiap kerja aku selalu menyempatkan melihat pak Dhe tidur di lincak yang terlihat dari jendela dekat kamar mandi. Melihatnya sangat trenyuh, punya banyak anak tak ada yang berbaik hati mengarahkan dan merawatnya, punya istri yang kerjanya hanya marah-marah hanya akan berenti marah bila di kasih uang. Karena iba bapak sering memberinya uang untuk makan, namun saking sayangnya dengan keluarga uang yang di kasih bapak malah di kasih istrinya jelas saja bapak jengkel niatnya memberi agar Dhe Di tidak perlu makan di rumah dan berpura-pura sudah makan walaupun sebenarnya belum malah dikasih istrinya, sejak tau itu bapak tidak memberi uang banyak hanya saja berpesan kepada warung penjual makanan yang menjadi langganan Pak Dhe untuk memperbolehkannya makan disana apa pun nanti bapak yang bayar.

Suatu ketika bapak pernah bergumam bagaimana jika Dhe Di di taruh di panti jompo biar bisa tenang tidak banyak pikiran seperti sekarang, di panti jompo mungkin saja Dhe Di bisa senang karena disana kan banyak teman sebayanya bisa bercakap-cakap dan bertukar cerita dan yang paling penting ada yang mengurusi. Namun setelah bertanya kepada adik perempuanku kalau biaya disana tidak murah meskipun ada kelas-kelasnya dan sepertinya jika membayar sendiri bapak tidak sanggup mengingat penghasilan bapak sebagai pengusaha kecil tidak menentu dan kalaupun meminta sokongan dari anak-anaknya mana ada yang mau, untuk biaya berobat saja susah keluar apalagi untuk hal semacam itu. Sakit bila bukan mbak Eny yang memeriksakan mungkin tidak akan ada yang peduli. Hanya dengan mbak Eny saja Dhe Di nurut, dan mbak Eny pula yang merawatnya ketika sakit dan dirawat di rumah sakit. Padahal mbak Eny sendiri juga bekerja, seperti ketika Dhe masuk ke rumah sakit pulang kerja mbak Eny langsung ke rumah sakit menunggui pulang subuh hanya untuk mandi lalu berangkat kerja.

Mungkin saking jengah dan jengkelnya sudah sampai ubun-ubun sering bapak berkata "Sama orang tua tidak pintar lihat saja hidupnya akan sulit, bahkan lebih sulit dari Dhe. Berbakti sama orang tua itu bukan sama ibu saja tapi bapak juga jadi jangan sampai menyia-nyiakan orang tua nanti kalau sudah tidak ada baru menyesal dan itu sudah terlambat". Kalimat yang sering di ucapkan bapak ketika pembicaraan tentang dhe Di. Ibu pernah berpikir untuk mengajaknya tinggal di rumah namun aku melarangnya karena tidak baik bila dilihat tetangga-tetangga kasihan bu Dhe dan anak-anaknya nanti bisa jadi omongan dan cemoohan tetangga. Lalu ibu hanya berpesan agar Dhe bila makan di suruh datang ke rumah kapanpun itu walaupun sudah malam tak jadi masalah kalau cuma makan saja. Malah terkadang pulang ibu juga membawakan sebotol air minum.

Untuk Dhe yang sudah tua harusnya bisa menikmati masa tuanya dengan bercengkrama bersama cucu-cucunya tidak banyak pikiran namun sepertinya gambaran itu sangat jauh dari impiannya. Bapak pernah bilang Dhe itu sakit gara-gara tidak punya uang jadi sakitnya makin parah, waktu aku tanya kenapa begitu jawab bapak logikannya jika punya uang pastinya pikiran bisa tenang. Bila di pikir-pikir masuk akal juga omongan bapak secara gara-gara tidak ada uang mau ngapa-ngapain tidak bisa sedangkan untuk hidup juga membutuhkan uang, sedangkan bu Dhe yang tidak bekerja hanya mengandalkan pemberian anak-anaknya yang tak seberapa. Aaaah ribet dah pokoknya jabarinnya.

Mungkin ini yang terbaik, sekarang Dhe Di sudah bahagia disana. Semoga arwahnya di terima disisiNya dipermudah jalannya dan Mendapat tempat yang terbaik dan indah di surga. Selamat jalan Dhe, ada banyak kenangan yang masih tersimpan rapi dalam diary hatiku yang suatu saat akan aku ceritakan kepada anak cucuku kelak tentang segala kebaikanmu yang suka mengajariku mengerjakan PR bahasa jawa malah kadang mengerjakannya karena bapak tidak mengerti bila sudah berurusan dengan pewayangan dan aksara Jawa, waktu SMP mendaftarkan aku sekolah, mewakili bapak rapat maupun mengambilkan rapotku, waktu kecil suka memberi alpukat satu kantong plastik untukku, dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikanmu yang selalu aku ingat.

Selamat jalan, doaku menghantarkanmu ke tempat peristirahatan terakhir. Semoga engkau tenang disana dan mendapat tempat yang indah disisi-NYA. Aamiin.


SELESAI

0 komentar:

Posting Komentar