28/05/14

Menyongsong Pagi di Telaga Cebong

Turun dari bukit Sikunir langsung menuju warung yang berada di dekat parkiran. Disana sudah ada Pak Budi, Pak Widodo, Pak Aji, Nimas dan Ocha yang lagi mencari kehangatan dengan segelas minuman hangat dan makanan ringan pengganjal perut. Selain menjual makanan warung-warung ini juga menjual souvenir seperti kupluk, syal, ada juga kentang merah dan beberapa makanan lain khas daerah Dieng.

Segelas teh hangat dan arem-arem yang rasanya hambar menjadi pengganjal perut untuk hari ini. Ngobrol di warung sambil menunggu teman-teman yang lain pada turun dari melihat sunres di puncak Sikunir, obrolan masih kisaran sikunir tentang matahari yang malu-malu dan jalan yang terlalu menanjak terlihat seadanya. Bahkan mba Widya mempertanyakan tentang retribusi yang sepertinya bukan untuk perbaikan fasilitas dan Mas Mumo yang menjadi korban segala macam unek-unek hanya mendengarkan, aku juga ikut-ikutan protes dan mencoba membandingkan jalan menuju puncak Sikunir dengan Gunung Nglanggeran atau Gunung Api Purba yang ada di kota Wonosari-Yogyakarta yang ternyata belum pernah didatangi mas Mumo, bahkan aku juga mengutarakan keunggulan Gunung Nglanggeran yang menjangkau sinyal walaupun berada di puncak, mantap deh. Dari ngobrol-ngobrol ini bisa aku simpulkan bila mas Mumo juga memiliki kesamaan denganku enggak begitu suka dengan tempat ini karena sudah terlalu komersil dan rame, lebih menyukai dengan tempat yang masih alami apa adanya dan tidak seramai ini. Siiiiiip aku dukung deh kalau yang satu ini, idem mas :)

Sambil menunggu yang lain mas Mumo menyarankan untuk berjalan-jalan di Telaga Cebong yang letaknya tak jauh dari tempat parkir ataupun warung tempat kita ngerumpi. Jalan deh dari pada di sini, tempat duduknya bisa gantian yang lain yang juga ingin menikmati segelas minuman hangat untuk mengusir dingin. 

Danau yang dikelilingi deretan bukit hijau seakan tak terusik dengan keramaian di sekelilingnya tetap tenang dan damai. Terlihat juga di tepian telaga deretan tenda perkemahan, sepertinya asik juga bermalam di tenda dekat dengan telaga dan ketika malam datang buat api unggun membakar singkong untuk menghalau dingin. Eeeet..., gak boleh ngeces ya, cukup membayangkan saja belum tentu kuat untuk tidur di tenda, ingat waktu di Salip Putih hampir sepanjang malam gak bisa tidur enak gara-gara alergi dingin yang menyerang. Mungkin ini juga salah satu alasan mengapa tidak pernah di bolehkan bonyok (bokap, nyokap) ikut-ikut kemah dan tak pernah mendapat ijin bila ingin ikut pendakian. Tapi kemaren seharian sama sekali enggak bersin-bersin meler juga enggak, padahal udara Dieng lebih dingin dibanding pas di Salip Putih - Salatiga (anggap saja kondisi tubuh lagi fit).

"Mas sejarah atau asal mula Telaga Cebong ini ada gak....?" Tanyaku pada Mas Mumo yang berdiri di sampingku. "Kalau sejarahnya kurang tau mba" jawabnya sambil malu-malu karena tak dikira mendapat pertanyaan semacam itu, hahahahha..... Ya sudah nanti cari tau sendiri saja, tapi memang sebenarnya telaga atau danau ini tidak ada cerita mungkin karena letaknya yang berada di tengah-tengah bukit-bukit yang tinggi sehingga air hujan yang mengalirnya ke bawah sehingga lama kelamaan membentuk sebuah genangan dan terbentuklah danau. Telaga Cebong yang terletak pada ketinggian 2142mdpl dengan luas telaga 11Ha memiliki nama yang sedikit unik, pengambilan nama mungkin saja karena dulunya di telaga ini banyak hidup kecebong kali ya. Atau bisa saja dari bentuk danau ini bila di lihat bentuknya menyerupai kecebong atau berudu anak kodok. Beberapa kemungkinan, anggap saja jawabannya itu.

Di telaga berdandar 2 buah perahu, entah siapa yang memiliki ide untuk naik perahu sepertinya Ocha, aku seh lihat tapi pikirku mungkin itu perahu warga untuk mencari ikan (efek keseringan lihat perahu nelayan) ternyata perahunya di sewakan, semangat deh untuk menaikinya. Tapi waktu mendengar perahunya tidak dilengkapi pelampung sedikit mikir juga secara aku sama sekali tidak bisa renang kalau perahunya terbalik gimana...?! Tapi dengan lantangnya mba Widya berkata "tenang mba nanti aku bantu..." tetap saja masih mikir iya kalau benar-benar bisa renang kalau enggak..., tapi Mas Mumo berkata dengan penuh keyakinan kalau perahunya aman, oke deh cap cus tanpa menunggu lama kita pun berkeliling danau menggunakan perahu.


Pemandangannya bagus, di kelilingi bukit-bukit hijau di pinggir terdapat tenda-tenda perkemahan dan di lereng terlihat petak-petak pertanian penduduk desa Sembungan selain itu langit juga mendukung dengan nuansa biru sedikit awan yang putih yang berterbangan kesegala arah. Udara sejuk, angin berhembus lirih menjadikan pagiku kali ini lebih indah. Lebih menyukai di atas perahu di danau Cebong ini dari pada di puncak Sikunir, alasannya adalah di sini terlihat tenang saja enggak berisik.

Melihat posisi duduk Mas Mumo yang berada di pucuk perahu aku juga ingin coba, lagian masa seh foto bareng-bareng bergerombol terus gantian mas.... waah ternyata enak juga berada di pucuk perahu lebih bebas lihat pemandangannya. Enggak cuma aku Pak David dan mba Widya juga ingin merasakan sensasinya, tuh kan pada betah. Tak terasa perahu sudah melewati satu putaran tapi masih ingin lagi, sedikit nawar dengan Mas Mumo boleh enggak kalau berputar lagi dan Mas Mumo yang menanyakan meminta tambahan, kepada pemilik perahu pun di kabulkan tapi hanya setengah putaran (kalaupun bayar juga tak jadi masalah seh buatku asal bisa muter lagi), yah tak apalah itu juga sudah cukup walaupun sebenarnya masih mau lagi, lima putaran juga tak mengapa deh. Pokoknya rela kalau yang satu ini. Gaya bener yaaa, enggak bisa renang tapi suka main di air.

Satu putaran plus setenah sebagai bonus dari bapak tukang perahunya, makasih pak lain kali tambah lagi ya bonusnya siapa tau suatu saat nyasar lagi kesini. Saatnya kembali ke darat, berjalan menuju parkiran siapa tau yang lain sudah pada menunggu disana, tapi kelihatannya belum ada tanda-tanda kedatangan mereka satu pun deh. Berdiri menunggu kaya orang ilang celingukan, kemana mereka dari tadi enggak turun-turun. Mas Mumo yang menghubungi mas Mogel tapi enggak tersambung yah maklumlah hambatan sinyal. Menurut mas Mumo mereka masih dalam perjalanan turun, mungkin saja terjebak antrian karena banyaknya pengunjung yang juga akan turun. Menunggu sambil ngobrol bertukar pengalaman dengan Mas Mumo, lumayan mendapat pencerahan. Mobil dan motor pengunjung lain satu persatu mulai meninggalkan area parkir tapi belum juga ada tanda-tanda kedatangan serombongan teman yang tadi naik ke puncak, saking asiknya foto-foto sampai lupa kalau masih ada beberapa tempat yang belum di datangi kali ya.


Setelah sekian lama menunggu akhirnya datang juga, itu juga enggak langsung berangkat menuju tempat yang lain tapi pake acara foto bersama dulu, dan menunggu bus yang antri keluar dari parkitan. Cuuuus saatnya menuju ke Dieng Plateau Theater tapi sebelumnya sarapa dulu ya ;)

0 komentar:

Posting Komentar